Lihat ke Halaman Asli

Cahyo Budiman

Orang biasa

Dilema dari Jakabaring

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Skornya mencolok, 3 gol Turkeminstan hanya diimbangi oleh gol tunggal Titus "Tibo" Bonai. Singkat kata, Garuda Muda kalah telak di negeri sendiri. Sedihkah kita?

Pertanyaanya konyol, tapi saya pribadi memang agak ragu menjawabnya. Ada dilema menyikapi hasil pertandingan di  Stadion Jakabaring, Palembang tersebut di tengah hiruk pikuk tuntutan mundurnya Nurdin Halid dari "singasana" PSSI, prestasi timnas adalah instrumen yang tidak bisa dilepaskan dalam rangkaian upaya penggulingan sang ketua umum saat ini.

Gerakan "Revolusi PSSI" dalam skup yang luas memang diarahkan untuk memperbaiki kondisi pesepakbolaan di tanah air. Salah satunya adalah, menghentikan ketua umum atau pengurus yang dianggap tidak 'kredibel' dalam mengurus sepak bola Indonesia. Karena mereka punya peranan sebagai operator bahkan regulator bagaimana sepak bola di tanah air ini dibangun. Oleh karena itu, meski cita-cita gerakan ini besar, yakni "Revolusi", tapi isu penurunan Nurdin Halid bagi saya sudah tepat sebagai terjemahan dari cita-cita revolusi tersebut (meskipun saya sepakat definisi revolusi ini sangat terbuka untuk didiskusikan).

Dalam konteks "penggulingan" Nurdin Halid, proses-proses kudeta di dunia politik bisa menjadi catatan kita bersama. Mungkin saja terlalu jauh untuk menjadi acuan, tapi bagi saya tetap perlu dijadikan catatan kita bersama. Ada modal dasar yang perlu dipenuhi dalam menggulingkan seorang pemimpin, yakni : pemimpin yang akan digulingkan harus dicitrakan sebagai pemimpin yang gagal ! Semakin panjang daftar kegagalan sang pemimpin, semakin banyak amunisi yang bisa digunakan oposisi untuk memborbardir dan menggoyang posisinya. Secara paralel, setiap celah atau peluang sedikitpun yang memungkinkan pemimpin memperoleh "citra prestasi" mesti ditutup serapat-rapatnya oleh pihak oposisi. Ini ditujukan untuk menguatkan citra kegagalan sebagai seorang pemimpin.

Mari kita lihat contoh di lapangan. Soeharto, tercitrakan gagal dengan kasus korupsinya yang menggerogoti bangsa ini. Masa pun secara masif mendongkel dia turun dari kursi kekuasaanya selama 30 tahun lebih. Citra kegagalan dan kebobrokan kepemimpinan beliau adalah pemicu utama gerakan perlawanan terhadap beliau. Tapi perlu diingat, ada celah-celah "prestasi" Soeharto yang tidak bisa ditutupi pihak oposisi (ekonomi di masa orde baru yang tumbuh tinggi misalnya, atau citra beliau sebagai Bapak Pembangunan), sehingga ada bagian dari kelompok massa yang tidak sepenuhnya berada di pihak penentang Seoharto. Ada prestasi-prestasi yang "nyata" di mata mereka yang menjadi alasan tetap menjadi kelompok "Seoharto lover, forever and ever !".

Dalam konteks Nurdin Halid, pola ini pun bisa saja terjadi. Setiap celah prestasi Timnas akan menjadi catatan prestasi kepemimpinan beliau juga. Kelompok lingkaran Nurdin Halid selanjutnya juga bisa mengemas celah-celah prestasi ini untuk tetap menjaga posisi beliau sebagai ketua umum.Pihak luar sah-sah saja berkoar-koar Nurdin Halid sebagai pemimpin yang gagal, tapi faktanya permainan Timnas kini makin ciamik, harapan prestasi makin membesar di masa depan. Ini celah yang bisa diklaim Nurdin dan kroninya sebagai bagian dari prestasi kepemimpinanya. Alih-alih menambah daftar kegagalan, Nurdin justru makin pede dengan bertambahnya klaim-klaim keberhasilannya.

Slogan "PSSI No, Timnas Yes !" secara politik (kekuasaan) justru akan menjadi bumerang dengan gambaran di atas. Karena dua-duanya hal yang tidak bisa dilepaskan. Kemenangan Timnas adalah juga bentuk kemenangan PSSI. Ini fakta. Begitupun sebaliknya.  Dan ini (dalam kaca mata saya) dilema bagi gerakan "Revolusi PSSI".

Maka, hasil dari Jakabaring pantas menuai dilema (setidaknya bagi saya). Kekalahan Timnas sepatutnya bisa kita jadikan tambahan daftar panjang untuk menguatkan citra Nurdin Halid sebagai pemimpin yang gagal. Sepatutnya kita "gembira" mendapatkan amunisi baru untuk menyerang Nurdin. Tapi, di sisi lain, rasa cinta dan bangga kita terhadap Garuda Muda terlalu tinggi untuk membangun kegembiraan di tengah tangis kekalahan mereka....

sungguh dilema (minimal bagi saya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline