[caption id="attachment_76805" align="aligncenter" width="351" caption="http://cbr250r.wordpress.com/2010/12/01/piala-aff-indonesia-gasak-malaysia-5-1/"][/caption] Skornya tipis saja, 2 gol berbalas 1. Tapi itu sudah cukup mengubah sejarah pertemuan tim nasional sepak bola Indonesia yang selama 12 tahun terakhir tidak pernah menang atas Thailand. Dua gol Bambang Pamungkas dari titik putih akhirnya mengakhiri rekor kelam itu. Puluhan ribu penonton di Gelora Bung Karno-pun bersorak gembira, pun para "tim hore", Pak Beye dan pejabat lainnya, yang turut menonton dari Istana Tampaksiring di Bali. Ya Indonesia akhirnya memenangkan pertarungan bergensi melawan Thailand semalem. Pertanyanya kemudian: apa arti kemenangan dan sorak sorai penonton ini semua? Bagi sebagian orang, bisa saja ini dimaknai sebagai kemenangan "naturalisasi". Tidak bisa dipungkiri, masuknya dua pemain, Irfan Bachdim dan Christian Gonzales, ke skuad Garuda lewat program "naturalisasi"-nya "PSSI" menjadi salah satu motor ciamiknya permainan timnas sepanjang penyisihan piala AFF ini. Pro kontra muncul saat program naturalisasi ini diluncurkan. Bagi yang pro, saya ucapkan selamat karena sepertinya proses naturalisasi ini memang memberikan efek positif bagi penampilan timnas di lapangan. Kecuali pertandingan terakhir semalem, kedua pemain naturalisasi ini sebelumnya selalu menyumbang gol di lapangan. Dan rasanya yang tengah 'bergembira' dengan 'kemenangan naturalisasi' ini tentu saja salah satu pencetus programnya, Nurdin Halid, sang ketua PSSI. Saya tidak merasa berlebihan jika kemudian mengkonversikan "kemenangan naturalisasi" ini sebagai bentuk "kemenangan Nurdin Halid". Jadi apakah ini kemenangan "naturalisasi" ? kita akan punya jawaban beragam rasanya. Sejatinya tentu saja saya tidak sepakat sepakat. Lepas dari peran besar kedua pemain tersebut tapi secara tim dua orang tersebut tentulah tidak ada apa-apanya tanya 'pergerakan' 9 pemain lainnya di lapangan yang 'in natura' sudah ada disana (tanpa naturalisasi). Bukankah sepak bola adalah permainan satu tim? Pertandingan semalam menjadi bukti. Irfan dan Gonzales menjadi 'mati' ketika lini tengah tim nas begitu kesulitan bergerak. Masuknya Arif Suyono dan Ahmad Bustomi mampu melancarkan aliran bola ke lini depan dengan cepat. Pinalti pertama tercipta karena aliran bola ke Gonzales yang kemudian berbuntut pelanggaran. Pinalti kedua terjadi karena pemain Thailand secara sengaja menepis bola kencang dari Arif Suyono dengan tangannya. Kita pun bersyukur, Bambang Pamungkas dengan dingin dan sukses mengeksekusi dua peluang pinalti tersebut. Dua gol bersarang menihilkan satu gol lawan yang lebih dulu tercipta. Fakta bahwa pemain lain di timnas pun memberikan peran yang juga sangat besar. Saya sendiri termasuk yang kontra dengan program ini, karena seolah PSSI tidak melihat akar masalahnya, yakni: kaderisasi dan kompetisi yang sehat. Irfan dan Gonzales lahir dari proses "pendidikan" sepak bola yang baik di negara kelahiran mereka. Irfan mengenyam pendidikan di Ajax Amsterdam, klub papan atas di Eropa, sedang Gonzales tumbuh di tengah kompetisi ketat di negara peringkat ke-4 Piala Dunia 2010, Uruguay. Keduanya memang tidak memiliki prestasi mencolok saat bermukim di negara kelahirannya masing-masing, tapi poinnya adalah mereka mendapat banyak pengalaman dari atmosfer sepak bola yang baik dan kompetitif di negeri mereka. Saya khawatir jika ini dianggap kemenangan "naturalisasi" semata, PSSI kemudian akan melakukan program ini dengan 'jor-jor'-an. Selain tentu saja akan menguras dana yang tidak sedikit ditengah kondisi serba terbatas negara ini, dikhawatirkan PSSI lalai dengan kewajiban utamanya dalam membangun atmosfer sepak bola yang kondusif di negeri ini lewat kompetisi yang sehat dan berjenjang. PSSI tentu (salah satunya) mencontoh Singapura yang terbilang sukses lewat program naturalisasinya. Lihat saja kualitas timnas Singapura dalam dekade terakhir, siapa bisa menduga negara dengan luas sekira Jakarta ini bisa menjadi salah satu tim menakutkan di Asia Tenggara. Di Sea Games ke-16 yang baru saja berakhir pun, peringkat Singapura hanya berhimpit satu posisi saja di bawah Indonesia yang populasi penduduknya sekira 50 kali lebih banyak dari negara di pulau kecil tersebut. Bagi singapura, wajar saja naturalisasi dilakukan karena keterbatasan populasi penduduknya hingga sulit mencari talenta lokal yang berkualitas. Dan wajar juga dengan kekayaan kapital mereka yang jauh berlipat dari negeri kita. Tapi menjadi tidak wajar jika kemudian diterapkan secara serampangan di Indonesia, negeri dengan 250 juta penduduk yang multi talenta. Negeri dimana kemiskinan masih mendera dibanyak pelosok dan dihiasi dengan tingkat korupsi begitu tinggi. Catat pula, selain naturalisasi, Singapura tetap terbilang sukses menyelenggarakan kompetisi lokalnya secara baik dan sehat. Februari 2007, Konfederasi Sepak Bola Asia bahkan memasukan Liga Sepak Bola Singapura (S.League) dalam 10 besar liga terbaik di daratan Asia bersama J-League (Jepang) atau K-League (Korea). Ketimbang berfikir "jor-jor"-an dengan naturalisasi ke depan, lebih baik PSSI tidak melalaikan dan fokus dengan upaya membangun kompetisi sepakbola yang sehat di negeri ini, dengan jenjang dan sistem yang memungkinkan terciptanya atmosfer sepak bola nasional menjadi begitu bergairah bagi anak muda. Ini poin penting untuk mendongkrak proses kaderisasi lewat pendidikan yang terarah dan sistematis. Bukankah negara-negara di Eropa juga mengembangkan sepak bola lewat proses yang demikian? Dan berharap pada jajaran PSSI di bawah Nurdin Halid rasanya hanyalah harapan kosong saja. Kekecewaan kita sudah begitu menumpuk dengan banyaknya kontroversi yang telah terbangun selama ini. Jadi, janganlah Nurdin Halid bergembira dulu dengan mengklaim ini adalah kemenangan program yang diusungnya tersebut. Apatah lagi menjadikan tameng untuk mempertahankan posisinya sebagai ketua PSSI yang memang sudah lama digugat insan sepak bola nasional (termasuk saya!). Ini bukan kemenangan naturalisasi semata, ini kemenangan tim, kemenangan suporter sepak bola kita yang tidak pernah letih menguatkan timnas saat limbung dan kuat. Itulah "Garuda" yang sesungguhnya. Untuk itu, saya lebih memaknai kemenangan semalam adalah kemenangan "Garuda", bukan kemenangan PSSI dengan Nurdin Halidnya !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H