[caption id="attachment_316118" align="alignleft" width="300" caption="Warga menolak di evakuasi (Metro TV)"][/caption] Dari 50 lebih jiwa korban meninggal (setidaknya hingga tulisan ini dibuat), kebanyakan diantara almarhum adalah mereka yang menolak di evakuasi atau terlambat mengungsi. Gelombang 15 korban pertama di rumah Mbah Maridjan juga berjatuhan karena menolak untk di evakuasi. Satu penyesalan dan pertanyaan dalam hati saya di tengah duka yang mendalam karena jatuhnya korban tersebut. Salahkah mereka ? Bukan waktunya saling menyalahkan tentu saja. Karena mereka punya segudang alasan terkait sikap mereka untuk tetap bertahan disana. Satu hal yang pasti, adanya erosi kepercayaan terhadap informasi dari pemegang otoritas terkait tingkat bahaya merapi. Mereka lebih percaya pada sikap "niteni" (mengingat / memperhatikan) gejala alam yang biasa terjadi disekitar kita, ketimbang menelan sepenuhnya informasi dari yang berwenang. Mbah Mardijan pun konon tetap teguh di tempatnya karena dasar sikap "niteni" beliau yang yakin bahwa wedhus gembel tidak pernah melewati wilayahnya di Desa Cangkringan. Beda Mbah Maridjan, beda pula penduduk lainnya yang. Ada yang menolak karena harus menjaga ternaknya, ada yang juga dipicu karena tiadanya perintah dari sesepuh mereka. Setidaknya itulah yang tergambar dari penolakan sekitar 75 warga Kecamatan Selo, Boyolali, untuk dievakuasi seperti di beritakan Metro TV baru saja. Pelik secara sosiologis memang. Pemerintah sepertinya sedang dan telah mengalami degradasi kewibawaan di depan rakyatnya sendiri sehingga "teriakannya" tidak patut lagi di dengar. Degradasi ini membuat rakyat lebih membangun dan mencari sumber informasi lain selain pemerintah. Cilakanya, sumber informasi di luar pemerintah itulah yang kemudian dijadikan patokan mereka bertindak. Dalam konteks ini, rasanya kita bisa memanfaatkan popularitas Pak Beye yang telah dipilih 60 persen lebih penduduk negeri ini sebagai presiden RI. Barangkali memang, Pak Beye dengan popularitasnya itu harus turun sendiri ke lapangan, menyisir desa demi desa untuk ikut mendorong warga yang "keras kepala" agar bisa dievakuasi secara persuasif. Ketimbang cuma 'longok-longok' posko pengusian, akan lebih riil tindakanya dengan membuat semuah warga turun mengungsi ke bawah. Warga di daerah rawan tersebut juga tidak mungkin bisa menonton televisi jika beliau hanya membuat himbuan atau pidato melulu. Terlalu berlebihan ? sudahlah, jangan terlalu menghitung hirarki jabatan dan sejenisnya. Ini masalah nyawa dan masalah kebutuhan rakyat tentang pemimpinya. Demi melindungi nyawa rakyat kita di lereng bukit sana. Bukankah melindungi warga negara ini sudah menjadi tugas inheren presiden sebagai pemimpin negeri ini ? Memang "berlebihan" jika seorang presiden harus "blusukan" (keluar masuk) desa. Toh, Presiden Chili pun rela turun lapangan menyelamatkan penambang-penambang yang terjebak di bawah tanah. Janganlah terus mengkalkulasi masalah hirarki dan kepantasan. Sekali lagi, ini demi nyawa mereka. Dan Pak Beye punya modal 60 persen suara untuk bisa masuk ke relung hati warga Merapi. Jadi, Pak Presiden, turunlah...barangkali suara anda yang memang langsung bisa didengar dan dituruti oleh mereka..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H