Bahasa Indonesia mengalami perkembangan pada setiap masanya. Seiring perkembangan teknologi, bahasa Indonesia semakin mendunia yang dapat dirasakan atmosfer perkembangannya dengan kehadiran BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing).
Banyak warga negara asing yang sangat antusias mempelajari bahasa Indonesia. Sebagai warga Indonesia, kita patut merasa bangga akan pesatnya perkembangan bahasa Indonesia. Namun, di era globalisasi ini banyak dari warga Indonesia lebih bangga menggunakan bahasa asing, daripada menggunakan bahasa Indonesia itu sendiri.
Seperti yang kita tahu, bahwa dewasa ini fried rice akan selalu lebih mahal, daripada nasi goreng. Fried rice akan tampil di restoran mewah, sedangkan nasi goreng di kaki lima. Hal ini menandakan bahwa bahasa Indonesia dianggap sebagai simbol ketertinggalan, sedangkan bahasa asing dianggap sebagai simbol kemajuan.
Prihatin rasanya melihat warga Indonesia lebih antusias terhadap bahasa asing, daripada bahasa Indonesia. Sampai-sampai nomenklatur dalam bahasa asing justru dibuat menjadi gengsi dalam menaikkan pamor dan harga.
Padahal, bahasa merupakan identitas bangsa. Jika warga negara itu sendiri mulai melupakan bahasanya, bagaimana nasib identitas bangsa Indonesia 10 tahun yang akan datang?
Apalagi, dewasa ini banyak warga Indonesia (pejabat hingga remaja) untuk selalu menyisipkan bahasa asing pada kalimat-kalimatnya. Sebab, menyisipkan bahasa asing pada kalimat-kalimatnya dianggap sebagai simbol kepintaran. Hal ini sangat menimbulkan kekeliruan. Memang, kita harus tahu bahwa kita perlu menguasai bahasa asing.
Namun, kita tidak boleh mengutamakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Jangan menyingkirkan bahasa Indonesia, dengan bahasa asing. Seperti menyisipkan bahasa asing di tengah-tengah bahasa Indonesia pada saat berbicara, kemudian memanfaatkan bahasa asing untuk menaikkan harga dan pamor.
Dengan hal-hal kecil seperti itu, kita sama saja berkontribusi dalam menyingkirkan bahasa Indonesia. Padahal Badan Bahasa berkata bahwa, utamakan bahasa Indonesia, kuasai bahasa asing, dan lestarikan bahasa daerah.
Kita harus tetap teguh dalam mengutamakan bahasa Indonesia, terutama jika berdialog dengan orang Indonesia. Sayangnya, pengutamaan ini pelan-pelan menghilang dari kita. Di ruang public, di kota-kota besar, misalnya, generasi muda Indonesia banyak yang fasih berbahasa asing, tetapi malah gagap berbahasa Indonesia.
Kemudian, salah satu dampak dari melunturnya rasa bangga terhadap bahasa Indonesia adalah tidak menjadikan UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) sebagai catatan administratif dan profesionalisme. Padahal, dalam Permendikbud Nomor 7 Tahun 2016 tentang Standar Kemahiran Berbahasa Indonesia sudah disebutkan mengenai kewajiban memakai UKBI untuk berbagai ragam profesi. Namun, implementasinya di lapangan belum ada. Bahkan, sebagian masyarakat Indonesia lebih mengenal TOEFL daripada UKBI. Hal ini terasa kurang logis, mengingat kita adalah bangsa Indonesia, dan kita berbahasa Indonesia, tetapi yang diutamakan malah TOEFL, bukan UKBI. Persyaratan administratif dan profesionalisme ini juga turut menjadi faktor penyebab dari melunturnya antusiasme penggunaan bahasa Indonesia. TOEFL sebagai catatan administratif dan profesionalisme membuat masyarakat lebih mengutamakan mempelajari bahasa asing, daripada bahasa Indonesia. Sebab masyarakat percaya bahwa, dengan mengutamakan bahasa asing, kemungkinan besar akan mempermudah masyarakat itu sendiri dalam mencari pekerjaan di era globalisasi ini. Jadi, dapat dikatakan bahwa bahasa asing menjadi syarat kelulusan, sehingga masyarakat berbondong-bondong mempelajari bahasa asing, demi mendapat kemudahan dalam menyambung kehidupan.
Hal itulah yang harus dibenahi oleh negara ini. Tentunya, ini menjadi tugas kita bersama dalam memperjuangkan martabat bahasa Indonesia. Tak hanya pemerintah saja, tetapi kita sebagai masyarakat biasa pun juga.