Pada hari rabu dua puluh delapan februari dua ribu dua puluh empat
Di temani dengan secangkir kopi pahit
Dan suara gemercik hujan yang membasahi bumi
Namun aku masih disini menanti kata rindu dari mu
Ku tuliskan segenggam puisi rindu
tapi kukira rindu hanya sebuah kata imitasi
tak ingin rasanya kata itu menderu dalam kalbu
sama halnya seperti kemarin, rindu ini terbentur ruang dan waktu
Untaian kisah pahit, manis merasi membaur di hati
Aku tak ingin kau keliru menafsirkan sebuah kata yang selalu menghias jiwa para insan
Di sana, di serambi kata
Kutemukan berjuta untaian tentang rindu
Entah apa yang sudah tertanam dalam sanubari para insan
Tak akan ada yang bisa menjegal bila dia harus datang
tak akan ada yang bisa membendung bila dia harus pergi
Kau boleh berlari sejauh yang kau mau
Atau memadamkan matahari juga membenamkan bumi
Untuk menghindar dan sembunyi
dari kata rindu, yang menurutmu sudah tak merdu
Aku tetap di sini
Menerima sebuah harapan
Sesungguhnya aku tak ingin
Kerinduan ini menjadi sebuah kata hening
Namun bila harus sunyi yang nampak
Mungkin itulah rindu yang terbaik
menemani untuk menikmati kehampaan hati
Segenggam rindu yang tertumpuk, dalam mengarungi perjalanan rasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H