Dalam sebuah diskusi tentang daya dukung sistem digital ternyata ada masalah besar. Ini dari kerisauan atas masalah tersebut justru tercermin dari pertanyaan: Mengapa Indonesia masih harus banyak menyewa Teknisi Digital dari India untuk menjalankan Sistem Operasi yang terkait dengan digitalisasi Infrastruktur Ekonomi Nasional?
Sudah tentu kondisi penyewaan tenaga kerja asing, terutama dari India yang disebut lebih bagus dalam penguasaan teknologi digital, semua itu memang merupakan tamparan yang keras bagi Indonesia. Walaupun di Indonesia ini ada banyak perguruan tinggi, lebih dari 5000, yang selama 10 tahun terakhir sudah didorong untuk mewujudkan konsep "link and match" dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, rupanya hal tersebut memang belum cukup.
Salah satu hal yang dampaknya langsung terasa yaitu tampak dalam bentuk ganjalan-ganjalan untuk mendukung pada perkembangan layanan bagi UMKM. Kelompok usaha yang banyak dijalankan oleh warga masyarakat dan yang sebetulnya tetap menjadi sektor pengaman dalam perekonomian nasional, keberadaannya tetap belum dapat bertumbuh secara optimal. Contoh usaha yang pernah ditonjolkan dengan sebutan "Unicorn" untuk menggambarkan keterpaduan dalam penggunaan sistem digitalisasi ekonomi dengan konsep usaha yang mandiri, ternyata juga sulit untuk dapat diikuti oleh barisan pelaku UMKM yang kenyataannya juga banyak yang timbul & tenggelam, membawa dampak pada menggelembungnya kredit macet di beberapa propinsi.
Jadi, di antara para pelaku UMKM pada kenyataanya masih berlaku semacam "hukum rimba" dimana yang kuat pasti akan terus bertahan, sadang yang kecil-kecil dan hanya bersifat mengadu keuntungan dan mencoba-coba masuk di jalur keberuntungan ternyata harus mangalami nasib yang buntung, alias harus rela mati atau sekedar mempertahankan diri. Masalahnya, apakah kondisi seperti ini akan tetap dibiarkan berjalan sendiri dengan tanpa upaya perbaikan dan menggelinding tanpa arah dan tujuan? Apakah pemerintah memang sudah merasa cukup baik dengan melakukan pembinaan dan pengarahan saja?
Dalam hal ini, khusus terkait dengan perkembangan teknologi digital sebagai media untuk dapat menunjang berkembangnya industri dan ragam jasa aplikasi yang diperlukan bagi upaya pengembangan ekonomi nasional, termasuk UMKM, rupanya telah dilakukan perbincangan di pusat-pusat kajian ekonomi dan perdagangan. Peran pihak-pihak lain, yaitu media massa serta kelompok pemerhati juga telah turun membantu mencari akar-akar persoalan yang harus segers diselesaikan, salah satu di antaranya adalah yang terwujud dalam diskusi yang disajikan dalam sajian Youtube yang disertakan disini. Namun pada intinya, pokok masalah yang sejauh ini sudah dapat terungkap juga, yaitu tentang adanya kerapuhan pembinaan SDM maupun kegamangan pemerintah Indonesia dalam mengambil peran yang tepat dalam kebijakannya.
Memang benar bahwa pihak pemerintah dan perguruan tinggi di dalam negeri sudah diarahkan untuk menanggapi dan manangani akan masalahnya. Selain melalui perubahan pola pengembangan SDM yang dihasilkan dari perguruan tinggi dengan konsep "Merdeka Belajar & Belajar Merdeka" yang belum sepenuhnya dapat menjawab kebutuhan pasar, tentunya pemerintah memang harus masih dapat mengambil peran spesifik dalam peta penguasaan Infrastruktur Sistem Digital, setidaknya agar Konsep "Big Data" bagi Indonesia akan tetap aman dan tidak bergantung pada pihak asing. Dengan demikian, pada saat terjadi "default" atau "sengaja" dilakukan "black-out" maka sistem komunikasi & informasi digital di dalam negeri juga tidak akan terganggu.
Namun demikian, tentu masih banyak pula masalah lain yang tersembunyi dan membutuhkan kajian yang baik dan segera ditangani dengan cepat. Persaingan antar negara di wilayah Asia Tenggara, dinana Singapura tetap ingin menjaga keunggulan mesin perekonomiannya, serta Vietnam dan Kamboja yang sama-sama masih dapat menyediakan peluang tenaga murah yang melimpah, tentu saja tetap ada peluang-peluang yang dapat segera digarap dengan tepat. Bahkan, jika mungkin, harus dilakukan langkah-langkah pengamanan infrastruktur digital yang secara khas berlaku di Indonesia, sehingga semua investor yang akan masuk ke Indonesia harus mengikuti sistem aturan yang berlaku di dalam negeri ini, bukannya malah harus menempatkan tenaga asing yang memegang kendali atau justru harus menyewa sistem kendali yang berada di India, Singapura, Hong Kong, dll. Kondisi ini sungguh ironis, seperti yang telah disinggung dalam perbincangan di media ini
https://youtu.be/2UIOHAoXw4w?si=IiVZT8Dj7nfn4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H