Kawasan laut di wilayah Asia Timur yang membentang dari Indonesia di ujung selatan dan dalam kebersamaan di beberapa negara ASEAN, yang membujur ke utara melewati Taiwan, biasanya disebut dengan nama Laut Cina Selatan (LCS).
Kawasan laut yang merupakan jalur lintasan kapal-kapal dagang maupun wisata yang menyambung dari Selat Malaka maupun penerus jalur laut internasional (ALKI) di Selat Sunda untuk menuju ke Korea dan Jepang ini, secara geografis memang tetap menjadi sangat padat oleh aneka ragam angkutan laut.
Tambahan lagi, jalur lintas maritim itupun merupakan penghubung kota-kota besar yang tersebar sejak dari Jakarta di Indonesia yang berdekatan dengan Singapura, Hongkong, Taipei dan terus menuju ke Seoul maupun Tokyo di wilayah Utara.
Ramainya lalu-lintas kapal yang menggunakan jalur perdagangan di wilayah LCS tersebut, selain memberi manfaat yang besar bagi banyak negara di wilayah yang dilewati juga merupakan sebuah potensi ekonomi yang besar dan sekaligus menjadi kekuatan untuk menarik tumbuhnya aneka ragam industri yang terkait.
Lebih-lebih jika dihubungkan dengan potensi kekayaan sumber daya alam maupun perikanan yang terkandung di dalamnya, negara-negara yang secara geografis memang memiliki hak maritim untuk mengelolanya justru dapat memperoleh keuntungan yang banyak.
Dengan demikian tidak mengherankan jika industri yang berhubungan dengan kegiatan penangkapan ikan telah bertumbuh dengan pesat di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang.
Mengingat pada potensi ekonomi yang besar dari berkembangnya bidang perdagangan maupun pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya hayati yang ada di LCS, apalagi perkembangan teknologi memang sudah dapat dipergunakan untuk menggali dan mengolah potensinya, maka negara-negara yang berdekatan perlu saling menghargai batas-batas wilayah yang boleh dimanfaatkan secara bijaksana.
Dalam dunia kemaritiman, undang-undang yang dipakai sebagai dasar untuk saling bersepakat dalam pengelolaan itu sudah dikukuhkan dengan nama UNCLOS (United Nation Convention of the Law of Sea) yang mendapat persetujuan di bawah pengawasan PBB pada tahun 1982.
Dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati itu maka terkait dengan pengelolaan wilayah laut, bagi masing-masing negara memang memperoleh hak untuk menggarap lahan laut yang dikenal sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sampai sejauh 200 mil, yang ditambahkan dari garis kedaulatan laut yang selebar 12 mil yang diukur dari pantai.
Jika wilayah laut di antara negara-negara yang berdekatan (bertetangga) ternyata ada kemungkinan untuk bertumpang-tindih maka di antara mereka perlu ada kesepakatan bersama yang diatur secara unik, baik bilateral maupun multi-lateral.
Wilayah LCS pada masa yang lalu memang terasa aman, namun kemudian setelah memasuki dekade 1990-an telah berkembang menjadi suatu sumber masalah yang semakin pelik dan menganggu perdagangan internasional, karena secara sepihak ternyata RRC telah mengajukan pernyataan bahwa sebagian besar dari kawasan laut itu merupakan hak maritim yang diwarisi sejak milenium pertama, ketika dalam sejarah dicatat adanya kapal-kapal Cina yang disebutkan telah mengarungi wilayah laut itu, sehingga untuk saat ini lalu dinamakan sebagai daerah Sembilan Garis Putus-putus (9 Dash-line).