“Mas… ?” Ia menatap ke kedalaman mataku.
“Dulu, saat kita saling menjauh… “. Ia masih menatapku lekat-lekat. Kulengkungkan sedikit senyum, menenangkan binar-binar matanya yang penuh dengan tanya.
“Pernahkah Mas membenciku?” katanya.
“Dik, Aku tak pernah, dan tak akan bisa membencimu, sampai kapan pun. Insya Allah”.
Aku bukanlah lelaki yang pandai menggombal di depannya, sejak dulu. Akulah lelaki terkaku jika berpapasan dengannya. Akulah yang akan selalu mencoba tak acuh saat melihatnya. Memalingkan muka pura-pura tak tahu. Namun, jika takdir berkata lain, kami harus bertemu pandang misalnya, ujung-ujungnya pun tak akan ada yang istimewa, hanya saling panggil nama.
“Bee…”
“Mas Ihya…”
Hanya seperti itu.
“Benarkah Mas?” Ia geser duduknya, setengah menghadapku. Sambil digenggamnya tanganku, Ia pastikan lagi kalimat yang tadi didengarnya.
“Mas tak membenciku, meski dahulu aku menjauh? Memutuskan komunikasi saat Mas berusaha mendekatiku?”
“Mas tak pernah benci dengan sikapku itu?”
Lagi, Ia tatapkan tanya ke kedalaman mataku. Ingin menjumpai jawaban bahwa aku tak pernah membencinya sedikitpun. Tak pernah merasa disakitinya, meski dahulu dia menjauhiku, tak mengacuhkan setiap perhatian yang kuberikan kepadanya.