Lihat ke Halaman Asli

Cucu Cahyana

Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing

Di Sebuah Kamar di Apartemen

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rani menodongkan sebilah pisau stainless tepat ke muka Bram. Pisau dengan panjang 30 cm itu bergerigi di mata atasnya, sedang mata pisau bagian bawahnya tajam mengkilat.


Genggaman tangan Rani begitu kencangnya. Amarah yang bergejolak dalam hatinya dan rasa benci yang sangat kepada Bram membuat genggaman tangannya bergetar. Semakin lama Rani semakin berani. Diancamkannya pisau itu ke leher Bram, semakin dekat dan semakin dekat.


Bram terpojok di sudut kamar. Dia tak tahu harus berbuat apa? sudah mencoba menjelaskan dengan berbagai cara, Rani tak bergeming. Baru kali ini Bram melihat Rani begitu bengis. Mata beningnya memerah. Urat-urat di bola matanya tampak jelas. Kelopaknya membelalak sedang ujung-ujung alis bagian dalamnya saling mendekat.


"Sudahlah Ran, Semuanya sudah terjadi!" Bram mencoba membujuk Rani untuk ke sekian kalinya.


Rani malah mendengus, matanya mendelik ke arah Bram. Mungkin hujaman mata Rani saat itu lebih tajam daripada mata pisau yang tengah dipegangnya. Rahang pipi Rani menajam, tulang pipinya terlihat menonjol di kiri dan kanan. Mulutnya kini terkatup rapat, aliran napas dari hidungnya pun kasar terdengar.


"Diam kamu Ba**ngan!" bentak Rani.


"Kenapa Bram? mau mencoba kabur?" Rani menyungut lagi. Tiada sedikitpun Rani terlihat melunak. Amarahnya malah semakin menjadi-jadi. Bram yang kini terpojok di sudut dapur, mencoba berpindah posisi, mendekat ke perapian.


"Ampun Ran, aku akan bertanggungjawab...". Bram berucap sambil sedikit bergeser lagi ke sebelah kanan. Lagi-lagi Rani mengacungkan pisau di genggamannya. Kali ini jarak pisau dengan leher Bram hanya tinggal sebulatan kelereng saja. Bram tergetar, cemas.


"Kamu takut Bram?". Gurat bibir Rani menyunggingkan segaris senyuman setan. Kepalanya mengangguk-angguk sedikit. Bram menelan ludah. Terlihat buah jakunnya bergerak, berat sekali. Matanya nanar. Dagunya menengadah, menghindari jilatan ujung pisau.


"Biadab kamu Bram!" TCUHH... ludah itu mendarat tepat di mata kiri Bram. Bram mencoba menyekanya. Secepat kilat pisau ditempelkan di leher Bram. Persis menempel di atas buah jakun. TES! awalnya terasa dingin di kulit leher sejurus kemudian rasa perih mulai menjalar. Ujung pisau itu menggoreskan luka sekira 2 cm. Bram urung menyeka ludah itu.


Dari mata kirinya yang ia pejamkan, ludah mulai mengalir. Perlahan dan perlahan turun ke sudut bibir kiri Bram. Dan, merembes sedikit demi sedikit ke mulutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline