Orang baik tak akan pernah menjadi penulis yang baik, hebat dan kemudian terkenal. Hanya orang yang nakal, liar, dan yang kurang ajarlah yang bisa menjadi penulis yang baik. Apalagi bagi yang gemar menulis fiksi. Karenanya jika ingin menjadi penulis fiksi yang baik, janganlah sekali-kali menjadi orang baik.
WOW! "bom" hebat itulah yang memorak-porandakan otak saya 5 hari terakhir ini. Ya, paragrap di atas adalah intisari dari rangkaian kalimat-kalimat magis yang saya peroleh dari rubrik Kaki Langit Majalah Sastra HORISON.
Baca Gratisan
Menyelam di lautan buku yang terhampar-rapi di toko-toko buku ternyata bisa menjadi alternatif saya untuk melepas penat. Ada 2 Toko Buku Favorit saya di Yogyakarta, Gramedia -Sudirman dan Toga Mas -Affandi.
Gramedia Bookstore di Jalan Soedirman adalah tempat yang pas untuk meng-update katalog pribadi (di memori otak). Soal buku-buku berkualitas dan baru diangkat dari "wajan" penerbit, Gramedia menurut saya paling up to date.
Lain halnya dengan Toko Buku Toga Mas (TBTM) di jalan Affandi (Gejayan). TBTM seperti mengerti dengan mahasiswa super ekonomis alias kere seperti saya. Selain selamanya memberi diskon (menjadi jargon TBTM), TBTM di jalan Affandi juga memungkinkan saya untuk bisa menikmati buku-buku atau majalah edisi terbaru secara gratis dengan suasana yang sangat nyaman. Kenapa demikian?
Pengelola TBTM menyediakan 1 buah bangku kayu dengan panjang sekitar 1,6 m dan kolam kecil dengan ikan-ikan cantik di dalamnya. Kecipak-kecipuk suara ikan berenang dan gemericiknya air dari kolam kecil buatan itu semakin membuat nyaman saja. Saya sebenarnya tidak tahu apakah bangku itu memang disediakan agar pengunjung bisa membaca buku secara gratis atau karena pengunjung, khususnya yang mahasiswa seperti saya, terlampau kreatif-ekonomis hingga senaknya menjadikan toko buku ini seperti perpustakaan. Hehehe...
Nah, kamis (22/9) minggu lalu saya berkunjung ke sekian kalinya ke TBTM, tiada niat lain selain membaca buku/majalah secara gratisan. Tiba di TBTM, langkah langsung tertuju ke lapak majalah. Tempo dan Gatra berurutan saya lahap, meski yang dibaca cuma tulisan-tulisan yang menurut saya menarik.
Majalah ketiga yang saya lahap kemudian adalah Majalah Horison. Bagi saya, membaca majalah ini selalu saja mendapat kosakata baru nan indah. Dan yang paling sering adalah timbul rasa iri dalam hati. Bagaimana tidak iri, melihat penulis yang umurnya lebih muda atau bahkan masih SMA nampang di majalah ini. Lha, saya nembus HL di kompasiana aja baru satu kali seumur hidup.
Tips Menulis Fiksi
Membaca Majalah Horison Edisi September 2011 itu saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ini berkaitan dengan tips menulis karya fiksi. Menurut Sang Sastrawan (saya lupa namanya, sudah berusaha kembali ke TBTM agar bisa menuliskan namanya di tulisan ini, dan ke Gramedia pada hari minggu kemarin untuk tujuan yang sama, Majalah Horison Edisi itu sudah tidak tersedia) konflik adalah unsur penting yang mampu membuat pembaca terdorong untuk membaca karya fiksi dengan lahap. Karya fiksi yang alurnya datar alias unsur konfliknya kurang greget akan membuat pembaca tak bergairah. Setidaknya,berikut adalah catatan beliau mengenai konflik dalam sebuah karya fiksi: