Lihat ke Halaman Asli

Anak Tongkrongan

Diperbarui: 12 Desember 2022   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak sekali yang beranggapan bahwa anak-anak tongkrongan, terlebih jika mereka masih pelajar, adalah anak-anak yang tidak benar. Nakal, urakan, tidak disiplin, buruk, tak layak untuk dipercaya dan semacamnya. Semua hal yang bersifat negatif sering sekali ditujukan kepada mereka yang merupakan anak tongkrongan.

Kurang lebih seperti itulah cara pandang mereka yang sebagaimanapun para anak tongkrongan bertindak, semuanya tidak akan berubah. Semua akan berakhir sama, dengan pandangan-pandangan buruk yang bahkan tak bisa mereka buktikan. Karena mengapa? Karena apa yang bisa mereka buktikan hanya dari melihat para pelajar berkumpul bersama usai sekolah di satu titik yang sama setiap harinya?

Semua juga dirasakan oleh anak-anak tongkrongan dari Sekolah Menengah Atas Merdeka atau SMA Merdeka, yang mana mereka sering berkumpul sepulang sekolah di Kedai Pak Ahmad. Seolah sudah menjadi turun temurun, setiap tahunnya, akan berubah lingkaran mana yang menongkrong di sana. Seperti sebuah siklus. Kali ini, kedai itu didatangi oleh sekitar enam orang di sana.

Tak lain dan tak bukan, mereka adalah, Bianca, Citra, Devan, Eja, Fahri dan Gilang. Dua perempuan, empat orang laki-laki. Dua diantaranya satu kelas, empat tersisa terpisah. Namun mereka bisa sangat akrab lantaran dengan kecocokan dari apa yang keenamnya rasakan.

Enam orang itu sangat dekat sampai mereka juga mampu untuk mengatakan bahwa hubungan mereka bukanlah sekadar pertemanan biasa lagi, namun sudah mencapai ke persahabatan. Satu orang kesulitan, semua akan membantu. Tak akan ada sedikitpun keinginan untuk meninggalkan.

Sama seperti sekarang, masalah yang menimpa Gilang. Gilang mengatakan bahwa sepertinya dia tidak akan bisa ikut untuk menongkrong sepulang sekolah lagi. Lantaran ada salah seorang kenalan Ayahnya yang memberitahu bahwa Gilang kini memiliki tongkrongan yang membuatnya menjadi sangat buruk. Gilang tak ingin meninggalkan teman-temannya, selagi, kegiatan yang mereka lakukan saja bernilai positif. Seperti sekarang, mereka berenam sedang mengejarkan pekerjaan rumah dengan saling membantu satu sama lain.

"Nilai ini dulu yang dikali." Bianca, yang kebetulan paling pintar matematika diantara mereka, menunjuk tugas milik Citra dan Devan. "Nanti beres lo berdua kali ini, masukin hasilnya ke sini terus hitung ke bawah."
"Hitung ke bawah gimana?' tanya Devan.

"Diurain, Van. Kebanyakan sastra nih loh sampe hitungan lupa." Bianca terkekeh. "Yuk, buru. Biar tugas matematika cepet beres. Gue juga mau minta tolong Gilang buat bantu kimia soalnya. Ngomong-ngomong, gue kayaknya mau ke dalam dulu, mau pesan es kopi susu ke Pak Ahmad. Yang lain mau kagak?""

"I mean, like, pesenin aja enam." Citra melirik sekilas dari tugas matematikanya, berucap dengan kebiasaannya mencampur Bahasa Inggris dalam kalimatnya. "Gilang sibuk amat ngajarin Eja sama Fahri. Nanti gantian tuh Fisika sama Biologi."

Mendengar hal itu, Gilang tertawa kecil. Padahal sedang banyak sekali pikiran. "Bukan ngajarin tapi belajar bareng, nih. Ayo, kalian berdua, molekul apa ini?"

"Wih, Pak Guru Gilang." Bianca terkekeh sambil berdiri dari kursinya dan hendak untuk masuk ke dalam dengan niat memesan minuman baru dari banyaknya yang sudah habis sejak mereka di sini dua jam lalu. "Pak, bantu gue dong. Gue agak bingung soalnya. Banyak banget yang gak bisa gue jawab, soalnya mumet banget ngehapalnya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline