Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi yang diajukan oleh Pengawas Lingkungan Hidup KLHK atas Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 yang memfasilitasi atau mengizinkan panen tebu dengan cara dibakar.
Dalam Putusan MA Nomor 1P/HUM/2024, majelis hakim yang diketuai oleh hakim agung H. Yulius dan hakim anggota H. Yosran dan H. Is. Sudaryono, serta panitera Andi Nur Insyaniyah, memerintahkan untuk mencabut Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 karena bertentangan dengan sejumlah aturan, diantaranya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, yang secara jelas melarang pembukaan dan/atau mengolah lahan dengan cara dibakar.
Apabila ditinjau dari aspek hukum maka salah satu dasar pencabutan Pergub ini adalah keberlakuan asas hukum "lex superior derogate legi inferiori"yang dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Asas "lex superior derogat legi inferiori" dalam pencabutan Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) di atasnya berarti bahwa peraturan yang lebih tinggi tingkatannya harus didahulukan keberlakuannya daripada peraturan yang lebih rendah.
Dalam konteks Indonesia, UU Pemda mengatur Perda sebagai peraturan yang berlaku untuk satu daerah otonom tertentu yang dirancang baik oleh Gubernur ataupun oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kemudian disetujui oleh kedua belah pihak tersebut. Penggunaan prinsip "lex superior derogat legi inferiori" harus digunakan untuk menjaga sinkronisasi antara Perda dan kebijakan nasional.
Selain itu, dikutip dari Lampungpost pada 24 Mei 2024, salah satu Akademisi Hukum Administrasi Negara (HAN) FH Unila, Doktor HS Tisnanta menanggapi bahwa pergub tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan yang baik, dan tidak memperhatikan aspek lingkungan.
Pembakaran tebu saat panen, menurutnya hanya menguntungkan korporasi tertentu. Masyarakat malah mendapat kesengsaraan. Bahkan bisa saja perusahaan terindikasi sengaja membakar ketika panen tebu, namun berdalih terjadi kebakaran tanpa sengaja. Selain itu, bisa saja perusahaan mengeklaim asuransi pertanian akibat dalih lahannya terbakar.
Selanjutnya, mengutip dari Hukumonline pendapat Rasio di kantor KLHK, pada Senin, 20 Mei 2024, bahwa panen tebu dengan cara membakar memang menghemat biaya panen, tapi tindakan ini mengakibatkan kerugian yang sangat besar seperti pelepasan emisi gas rumah kaca, kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta mengganggu kesehatan masyarakat akibat asap dan partikel debu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H