Indonesia merupakan negara yang memproduksi minyak kelapa sawit terbesar di dunia dilihat dari data dari United States Department of Agriculture (USDA). Berdasarkan proyeksi yang diberikan USDA, produksi minyak kelapa sawit yang dihasilkan Indonesia pada 2022/2023 berhasil mencapai angka 45,5 juta Metrik Ton (MT). Melalui industri kelapa sawit, diketahui bahwa per tahun 2022, PDB nasional yang disumbangkan mencapai presentase 3,5% dan berhasil membuka lapangan kerja untuk 16 juta lebih pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang dibutuhkan masyarakat nasional maupun internasional. Akan tetapi, baru-baru ini Uni Eropa membatasi, bahkan memberikan pelarangan ekspor minyak kelapa sawit bagi Indonesia. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah Uni Eropa akan kembali menerapkan merkantilisme sebagai sistem ekonomi politik internasional?
Apa Itu Merkantilisme?
Merkantilisme merupakan salah satu teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena ekonomi politik internasional yang terjadi di dunia. Menurut Robert Gilpin (1987), merkantilisme merupakan suatu teori ekonomi politik yang populer digunakan pada sekitar abad ke-17. Teori merkantilisme sendiri muncul karena adanya keyakinan bahwa negara memiliki tujuan untuk mendapatkan kekayaan semaksimal mungkin, yang pada saat itu diinterpretasikan dengan emas dan perak. Merkantilisme menitikberatkan pada hubungan perdagangan yang dilakukan suatu negara dengan negara lain melalui ekspor semaksimal mungkin dan impor seminimal mungkin untuk mencapai keuntungan sebanyak mungkin tanpa adanya kerugian yang didapat. Sehingga merkantilisme menjadikan bahwa kebijakan ekonomi politik negara yang akan menentukan jalannya pasar.
Praktik merkantilisme ini terlihat jelas dengan adanya kolonialisasi yang terjadi, serta eksploitasi dan eksporasi di berbagai negara. Merkantilisme dalam praktik yang dilakukan memiliki "Mother Country" yang akan mengatur laju perdagangan yang dilakukan koloni. Mother Country akan mendorong ekspor dan melakukan penekanan terhadap impor dalam mengontrol ekonomi. Pengaturan ekonomi yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan kekayaan suatu bangsa yang seluruhnya diatur oleh pemerintah. Sehingga dengan sistem ekonomi merkantilisme, "Mother Country" akan mendapatkan keuntungan bagi negaranya dengan ekploitasi dan kolonialisasi yang dilakukan terhadap wilayah lain.
Merkantilisme Eropa Pada Abad ke-16
Beberapa negara Eropa menjadi representasi dari wilayah yang mempraktikkan merkantilisme dalam menjalankan sistem ekonomi politik pada abad sekitar ke-16 hingga 18, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis dan Inggris. Negara-negara Eropa ini datang ke berbagai negara lain dengan tujuan untuk melakukan hubungan perdagangan. Pada awal perjalanannya di sekitar abad ke-16, raja dan bangsawan Eropa melakukan pembiayaan bagi pelayaran samudera dalam rangka mencari berbagai komoditas dagang yang akan laku di berbagai pasar internasional. Perjalanan yang dilakukan bertujuan untuk mencari wilayah yang dapat dijadikan koloni untuk kemudian dieksploitasi sumber daya yang dimiliki.
Eropa dalam perjalanannya mempraktikkan sistem merkantilisme sempat singgah di Indonesia dan memberikan dampak bagi Indonesia. Indonesia yang pada saat itu merupakan Nusantara dikenal sebagai negara penghasil rempah-rempah menjadi incaran bangsa Eropa untuk mendapatkan komoditas yang akan laku di pasar global ini. Hal ini ditandai dengan masuknya VOC dan EIC di Indonesia pada sekitar abad ke-17. Masuknya VOC dan EIC ke Indonesia tidak lain yaitu untuk menguasai serta melakukan monopoli terhadap perdagangan yang berada di kawasan Nusantara. Masuknya Eropa dengan praktik merkantilisme ini tentunya sangat merugikan Indonesia baik dari segi sosial maupun ekonomi, utamanya rakyat kecil yang sangat mendapat imbas dari adanya penerapan sistem kerja rodi.
Larangan Ekspor Kelapa Sawit Indonesia ke Uni Eropa Sebagai Bentuk Praktik Merkantilisme
Diawali pada tanggal 1 Januari 2007, Time Toast memberikan laporan terkait deforestasi yang diakibatkan oleh produksi minyak kelapa sawit. PBB menilai bahwa penebangan liar dan penanaman kelapa sawit setidaknya dilakukan di 37 dari 41 taman nasional melalui produksi minyak kelapa sawit. Deforestasi ini tentunya memberikan dampak negatif bagi lingkungan yang menjadi fokus baru untuk dipertimbangkan. Terlebih lagi, Indonesia merupakan paru-paru dunia yang apabila ekosistem hutan habis, maka akan membahayakan bagi masyarakat internasional lainnya.
Pada tanggal 06 Desember 2022, dilansir dari CNBC Indonesia bahwa Undang-Undang terkait pelarangan bagi perusahaan untuk menjual produk terkait deforestasi,seperti daging sapi, kopi, kedelai, karet, serta beberapa turunan dari minyak kelapa sawit kepada pasar Uni Eropa telah disetujui oleh Uni Eropa. Diambil dari situs resmi Europa.eu bahwa emisi karbon pada 2030 ditargetkan dapat dilakukan pengurangan sebesar 40% oleh Renewable Energy Directive II (RED II). Melalui kebijakan yang dikeluarkan terkait ekspor dan perdagangan global, Uni Eropa mendapat dukungan dari berbagai organisasi aktivis lingkungan. Sedangkan bagi produsen komoditas produk yang berkaitan dengan deforestasi, salah satunya Indonesia, hal ini cukup membebani.
Isu terkait lingkungan terus dikampanyekan di tengah masyarakat global. Masyarakat global yang mulai sadar akan kepentingan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan perlahan mulai memberikan dukungan atas pelarangan yang diberikan Uni Eropa. Padahal menurut CNBC Indonesia, ekspor minyak kelapa sawit di tahun 2017 mencapai angka 3,34 ton yang didominasi Belanda dengan angka 1,16 juta ton. Uni Eropa yang secara terang-terangan melakukan larangan ekspor minyak kelapa sawit tentu akan memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia.