Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kuantitas Lebih Penting Dibandingkan Kualitas

Diperbarui: 5 Mei 2017   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sekitar setahun yang lalu, ketika perang opini menjelang berlangsungnya Pilkada DKI mulai memanas di Kompasiana, saya sering memberi komentar begini; “Lebih baik seperti jaman Pakdhe dulu, Gubernur dipilih oleh DPRD atas petunjuk Bapak Presiden. Adem, ayem dan murah.” Saya serius dengan komentar itu.  Bagi saya, kita terlalu banyak membuang energi untuk urusan-urusan yang sebenarnya bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih sederhana.

Sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pedesaan, pemilihan langsung kepala daerah bukanlah barang baru. Ketika euforia reformasi merebak pasca jatuhnya rejim pemerintahan orde baru di penghujung berakhirnya abad kedua puluh, saya termasuk yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung akan lebih banyak menimbulkan mudharat, dibandingkan manfaat yang (mungkin) bisa dipetik. Pendapat saya ini bukan merupakan hasil dari kajian akademis yang canggih, tetapi hanya berdasarkan pengalaman traumatic bagaimana sebuah pesta demokrasi kampungan berupa pemilihan kepala desa (lurah) telah berhasil memecah belah warga yang sebelumnya hidup rukun, guyub dan tenteram. Keterpecah-belahan warga ini berlangsung nyaris permanen, setidaknya sampai jauh melampaui masa pelaksanaan pilkada itu.

Salah satu keunggulan sistem demokrasi adalah prinsip kesetaraan, artinya setiap orang mempunyai hak yang sama tanpa memandang tingkat sosial, kecerdasan dan kematangannya. Ironisnya, dalam kasus pemilihan pilkada langsung, keunggulan ini justru menjadi salah satu kelemahan utama. Bayangkan saja, orang (saya) yang nyaris buta huruf, diberi hak yang sama dengan (misalnya) Prof. Mahfud MD, untuk memilih seorang kepala daerah. Celakanya, orang-orang yang seperti saya jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang seperti Prof. Mahfud MD. Jadinya, seorang kepala daerah (di Indonesia) pada dasarnya merupakan hasil dari seleksi yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang tidak kompeten

Tentu saja, itu tidak bisa disimpulkan bahwa (secara kualitas) seorang kepala daerah yang terpilih merepresantasikan kualitas pemilihnya. Banyak contoh kepala daerah yang berkualitas sebagaimana seharusnya, meskipun profil pemilihnya ya tetap saja kebanyakan orang-orang seperti saya. Uraian di atas hanya bermaksud menggambarkan, betapa sistem yang kita anut ini sangat rawan terjadi “salah pilih” karena dilakukan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Bagi umat Islam, sebenarnya sudah ada peringatan dari Rasulullah SAW, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang bukan ahlinya, maka kehancuranlah yang akan datang.” (HR. Imam Muslim no. 59).

Bahwa tulisan ini saya buat pada saat DKI Jakarta baru saja melakukan proses pemilihan kepala daerah, jangan lantas diartikan bahwa saya menganggap telah terjadi salah pilih di pilkada kemarin, atau lebih parah lagi, menganggap saya meramalkan akan datangnya kehancuran. Sama sekali bukan itu maksud saya. Saya menghormati Anies, sebagaimana saya juga menghormati Ahok. Lebih dari semuanya, saya menghormati warga Jakarta yang telah menentukan pilihannya. Dua-duanya (sekali lagi menurut saya), akan mampu membawa kemaslahatan bagi warga DKI Jakarta.

Sekali pun demikian, kita bisa menyaksikan bahwa pilkada DKI kemarin (yang bisa juga terjadi di daerah lain), telah menimbulkan dampak sosial yang negatif, bahkan cenderung destruktif. Mulai dari saling adu opini dan adu argumen, sampai adu kekuatan dan keberingasan, mewarnai gelaran pesta demokrasi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat “modern” itu. Forum kompasiana menjadi arena melampiaskan segala ego, kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan bahkan kebencian terhadap kelompok seberang, yang tetap berlangsung meski pun pilkada sudah usai, dan tampaknya akan tetap langgeng sampai waktu yang tidak dapat diprediksi. Sebuah sistem yang bertujuan untuk menyejahterakan umat, secara paradoksial telah menjelma menjadi “senjata pemusnah massal” yang mengerikan.

Bagi penganut dan pendukung demokrasi, saya pasti dianggap menyampaikan ujaran kebencian terhadap sistem yang telah dipilih dan disepakati melalui konsensus nasional. Saya tidak menampik itu. Juga tidak menampik jika tulisan ini dinilai tidak berimbang, karena hanya mengungkapkan sisi buruk, tanpa menampilkan sisi baiknya yang pasti sudah dikaji oleh pakar-pakar yang kompeten. Itu sepenuhnya benar, karena tulisan ini memang bukan kajian akademis. Ini hanya tulisan naratif tentang apa yang saya alami, saya lihat dan saya rasakan. Jika saya tidak menuliskan sisi baiknya, bukan karena saya sengaja tidak adil, tetapi karena saya tidak (belum) mengalami, melihat dan merasakannya.

Tentu saja, apa yang saya alami tidak mewakili masyarakat lainnya, apalagi bangsa Indonesia. Cakupan kehidupan saya (secara ruang dan waktu) juga tidak cukup untuk dijadikan sample yang memadai untuk sebuah simpulan sederhana sekali pun. Saya tidak berkemampuan untuk membandingkan kondisi serupa di wilayah-wilayah lain. Saya hanya bisa membandingkan dengan kondisi pada jaman ketika “pesta demokrasi” hanya berlangsung sekali dalam lima tahun, itu pun dengan hasil yang sudah dapat kita duga. Jujur saja, saat itu saya termasuk yang geram dengan dagelan konyol itu. Tapi sekarang, saya justru malah merindukan kehadirannya kembali.

Masih terbayang di benak saya, ada sebuah baliho besar bergambar seorang mantan presiden yang oleh media asing dijuluki smiling general menyapa, “Piye kabare? Isih luwih enak jamanku to…?”  Tanpa malu saya menjawab, “Injih pakdhe, panjenengan leres..!”

******

Kebayoran Baru, Jumat Kliwon 5 Mei 2017

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline