Lihat ke Halaman Asli

Bharatayudha, Benarkah Perang antar Sesama Keturunan Bharata?

Diperbarui: 4 Mei 2017   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam kisah pewayangan, bharatayudha merupakan fase terakhir dan solusi tuntas dari drama penuh intrik perseteruan antara Pandawa dan Kurawa. Perseteruan ini adalah simbolisasi dari pertarungan sifat baik (diwakili Pandawa) dan sifat jahat (diwakili Kurawa). Tentu saja, sebagaimana norma yang dianut dengan patuh oleh alur cerita fiksi kuno, pada akhirnya yang baik menjadi pemenang.

Secara bahasa, istilah “bharatayudha” berarti peperangan (yudha) antar sesama keturunan (dinasti) Bharata. Pandawa yang berjumlah lima adalah anak dari Pandu dan Kurawa yang berjumlah seratus adalah anak dari Destarastra. Pandu dan Destarastra adalah anak dari Abiyasa yang dalam silsilahnya merupakan keturunan kesekian dari Bharata.

Benarkah demikian? Ternyata salah...

Bharata adalah anak dari Prabu Dhusanta dan Shakuntala yang kemudian menurunkan raja-raja negara Hastina. Negara inilah yang menjadi obyek perebutan antara Pandawa dan Kurawa, karena masing-masing merasa mempunyai hak konstitusional. Ketika Abiyasa memutuskan untuk menjadi pertapa, dia menyerahkan tampuk pimpinan negara kepada anak sulungnya Destarastra. Tetapi karena menyadari kondisi fisiknya yang dirasa tidak memungkinkan melakukan tugasnya dengan optimal (tunanetra), dia menolak kehormatan ini dan menyerahkan kepada Pandu sebagai raja yang diharapkan dapat memegang tampuk kepemimpinan negara demi kemslahatan umat.

Ternyata takdir menentukan lain, Pandu meninggal dalam usia muda ketika anak-anaknya masih belum dewasa. Akibatnya, tongkat kekuasaan beralih ke anak-anak Destarastra yang sudah dewasa. Dalam kesepakatan awal, ini hanya bersifat sementara. Jika para Pandawa sudah dewasa, para Kurawa akan menyerahkan kembali kepada anak-anak Pandu. Di sinilah sumber masalahnya. Di kemudian hari, Kurawa menolak menyerahkan kekuasaan secara sukarela karena menurutnya, justru merekalah yang lebih punya hak mengingat statusnya sebagai keturunan dari anak sulung Abiyasa. Bahwa ayahnya menolak menjadi raja, tidak berarti anaknya otomatis kehilangan hak. Sebaliknya, Pandawa juga merasa sebagai pewaris sah atas tahta Hastina, karena ayahnya adalah raja yang secara otomatis anaknya menjadi ahli warisnya. Inilah yang memicu terjadinya bharatayudha.

Kembali pada pertanyaan awal, benarkah Pandawa dan Kurawa keturunan Bharata? Untuk menjawabnya, mari kita kembali ke masa ketika Hastina dipimpin oleh Sentanu yang merupakan keturunan keempat dari Bharata. Prabu Sentanu mempunyai anak bernama Dewabrata yang sejak lahir ditinggal ibunya. Kemudian Sentanu melamar putri Raja Kasi bernama Durgandini. Lamarannya diterima dengan syarat bahwa nantinya yang menjadi penerus sebagai raja Hastina harus anak yang diturunkan Durgandini, bukan Dewabrata. Demi membahagiakan ayahnya, Dewabrata bersedia tidak menuntut hak sebagai pewaris tahta. Durgandini percaya pada komitmen Dewabrata, tapi belum merasa aman karena ada kemungkinan nantinya keturunan Dewabrata yang akan menuntut. Kepalang basah, akhirnya Dewabrata bersumpah untuk tidak menikah dan menjalani kehidupan selibat sebagai brahmana di Pertapan Talkanda bergelar Mahatma Bisma.

Selanjutnya, Durgandini berhasil dipersunting Sentanu dan kemudian melahirkan dua anak, Citragada dan Citrasena. Ketika Sentanu wafat, Citragada sempat memerintah Hastina dan Citrasena menjadi patih (perdana menteri). Dalam suatu peperangan, Citragada dan Citrasena gugur. Saat itu, keduanya sudah menikah tetapi belum mempunyai anak. Dengan demikian, dinasti Bharata terancam punah. Tinggal Dewabrata yang hidup, itu pun sudah bersumpah selibat dan menjadi brahmana. Dikisahkan, Durgandini sempat membujuk Dewabrata agar melanggar sumpahnya dengan menikah, agar ada penerus dinasti Bharata. Permintaan ini ditolak, sehingga praktis keturunan Bharata berhenti di Dewabrata (Bisma).

Ternyata, sebelum dinikahi oleh Sentanu, Durgandini sempat menikah secara siri dengan pertapa bernama Begawan Palasara dan mempunyai anak bernama Abiyasa. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan Hastina, Mahatma Bisma mengusulkan agar Abiyasa dinobatkan menjadi raja sekaligus menikahi janda Citragada dan Citrasena. Bukan itu saja, Bisma dan Durgandini juga sepakat untuk secara formal menjadikan Abiyasa sebagai penerus dinasti Bharata.

Dari kisah ini bisa diambil kesimpulan bahwa Pandawa dan Kurawa sebenarnya bukan keturunan Bharata secara biologis, tetapi sah berdasarkan undang-undang kewarganegaraan.

Jadi jelas, bharatayudha adalah peperangan memperebutkan negara Hastina antara dua pihak yang leluhurnya bukan penduduk asli Hastina. Ketika perang berlangsung, yang menjadi raja di Hastina adalah anak tertua Kurawa bernama Duryudana. Sedangkan Pandawa dipimpin oleh Puntadewa. Dalam pementasan wayang kulit, Duryudana digambarkan sebagai pribadi yang pemarah dan sering berbicara kasar, sebaliknya Puntadewa berperangai halus dan sopan. Menurut Kakawin Bharatayudha yang digubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh pada abad ke-12, perang ini hanya berlangsung 18 (delapan belas) hari tetapi menimbulkan korban luar biasa, yaitu sebanyak 9.539.050 jiwa (sangang yuta limang kethi, tigang leksa sangang ewu langkung seket). Hasil akhirnya sudah kita ketahui bersama. Pandawa keluar sebagai pemenang dan Puntadewa dinobatkan menjadi raja di negara Hastina.

Kisah Bharatayudha bersumber dari cerita kuno India yang digubah oleh Vyasa pada abad ke-4 sebelum masehi. Seiring berjalannya waktu, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih cukup relefan sampai saat ini. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, alur dan konteks cerita bisa terjadi di masa berabad-abad kemudian, di lokasi antah berantah yang jauhnya ribuan kilometer dari tempat di mana cerita ini bermula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline