Lihat ke Halaman Asli

Whistle Blower

Diperbarui: 24 Juni 2016   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Paulus Romindo, Richard Sukarno, Khusnul Nurul, Dodi Hendaryadi dan Della Novianti bikin heboh. Rabu, 22 Juni 2016, di sebuah Cafe di daerah Cikini Jakarta Pusat, mereka berlima mengadakan konferensi pers. Kepada wartawan, mereka membuka rahasia di balik kesuksesan Teman Ahok mengumpulkan lebih dari satu juta KTP. Kontan saja, berita ini segera menjadi headline di beberapa media mainstream. Di media kompasiana, berita ini menjadi “bahan bakar” baru yang makin mengobarkan “perang opini” di antara dua kubu, pecinta dan pembenci Ahok.

Bagi saya, apa yang mereka paparkan sama sekali tidak mengejutkan. Sejak awal saya yakin bahwa hal-hal seperti yang mereka ceritakan pasti terjadi. Bukan berarti saya menganggap seluruh TA seperti itu, saya justru menganggap TA sebagai kumpulan anak muda yang idealis, seperti saya tulis di sini dan di sini. Tapi jumlah mereka banyak, dan datang secara sukarela. Tidak mungkin melakukan seleksi untuk memastikan bahwa semuanya berperilaku jujur. Jadi pasti ada sebagian (kecil/besar) dari anggotanya yang mengambil jalan pintas seperti itu. Juga, saya yakin bahwa petugas lapangan pasti mendapatkan imbalan berupa “uang bensin” atau “uang rokok” yang lumayan. Ini hal biasa dan sah-sah saja. Hanya saja, hal-hal begini biasanya tidak diakui karena dianggap tidak sesuai dengan predikat “relawan” yang bersedia bekerja tanpa pamrih.

Yang mengejutkan saya adalah; ada yang mengaku secara terbuka. Pengakuannya pun dilakukan melalui konferensi pers, pada waktu dan tempat yang “seksi”. Saya sengaja menulis dengan “bold’ tiga kata (konferensi pers, waktu dan tempat), untuk menekankan bahwa ketiganya sangat penting. Mari kita bahas satu-persatu kata-kata tersebut.

Konferensi pers

Di tulisan sebelumnya, saya menyebutkan bahwa TA selalu fokus pada kerja, kerja dan kerja. Didera berbagai issue dan kampanye negatif, mereka tidak pernah terpancing untuk melakukan konferensi pers guna melakukan klarifikasi. Baginya, hal itu hanya menghabiskan energi dan membuang waktu yang sangat berharga karena deadline yang ketat. Sikap ini ternyata tidak diikuti oleh kelima orang mantan anggotanya yang mbalelo itu. Hanya untuk mengadakan “pengakuan dosa” saja, mereka mengundang media. Dari sini kita bisa segera menyimpulkan bahwa mereka berniat menyebarkan “virus” kepada masyarakat bahwa TA tidaklah selugu, sejujur dan serelawan seperti yang selama ini dicitrakan. Pendek kata, pengakuan ini sengaja dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa satu juta KTP itu bohong belaka.

Waktu

Pemilihan waktu sangat penting, karena timing yang tepat akan memberikan efek yang besar. 22 Juni 2016 adalah tiga hari setelah 19 Juni 2016, yaitu saat TA memproklamirkan pencapaian satu juta KTP. Waktu ini sangat tepat, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat. Segera setelah target satu juta tercapai, berita ini langsung memenuhi ruang-ruang pemberitaan. Semua orang membicarakannya, semua pakar mendiskusikannya. Setelah tiga hari, ruang bawah sadar massa sudah dirasuki “fakta kebenaran” bahwa masyarakat Jakarta mendukung “Ahok Independen 2017”. 

Pada saat fakta tersebut sudah mengendap, media mulai berhenti memberitakan, orang mulai berhenti membicarakan dan pakar mulai berhenti mendiskusikan. Kondisi ini menyebabkan terbukanya kembali ruang pemberitaan bagi issue-issue baru. Celah inilah yang mereka masuki. Mereka juga tidak menunda waktu lebih lama lagi, karena khawatir jika dibiarkan terlalu lama, informasi yang sudah diterima akan berubah menjadi keyakinan. Kalau sudah begini, akan sangat susah untuk menggoyahkannya, apalagi membalikkannya.

Tempat

Dari ketiga unsur yang saya anggap penting, faktor tempat adalah yang paling menarik. Bayangkan, orang-orang yang sebelumnya merasa senang hanya menerima “bayaran” Rp.2,5 juta per bulan, tiba-tiba mampu melakukan acara di sebuah kafe yang lumayan mahal. Tentu saja ini menimbulkan dugaan-dugaan bahwa ada yang membiayai mereka. Sebagai konsekuensinya, mereka dianggap melakukan ini bukan murni karena panggilan nuraninya tetapi karena ada maksud-maksud tertentu. Artinya, pemilihan tempat di kafe itu justru membuka kedok motivasi mereka yang sesungguhnya. Apakah ini sebuah blunder? Saya yakin bukan. 

Ini bukan blunder, tapi justru disengaja. Mereka sengaja menunjukkan bahwa ada yang menggerakkan. Dan tampaknya pihak yang menggerakkan justru sengaja menampakkan diri. Ini semacam pesan kepada TA (dan khususnya Ahok) agar, “Jangan main-main dengan kami”. “Silakan memilih, ikut kami atau kami hancurkan”. Begitulah kira-kira pesan itu jika diterjemahkan ke bahasa umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline