Lihat ke Halaman Asli

Masih Perlukah Sikap "Legowo" Dalam Sepakbola Kita ?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332391400573035297

Berbicara konflik di tubuh organisasi sepakbola nasional Indonesia, sebenarnya berbicara tentang sejarah kebesaran hati. Kata-kata 'legowo', besar hati, sempat populer dan menjadi seruan terus-menerus agar konflik elite sepakbola itu segera berakhir. Dan, bicara tentang sejarah kebesaran hati, berarti kita harus mengurai konflik ini sejak setahun silam. Tahun 2011 adalah tahun suksesi PSSI. Ini tahun terakhir kepemimpinan Nurdin Halid. PSSI membentuk Komite Pemilihan dan Komite Banding. Komite Pemilihan hanya meloloskan dua nama menjadi calon ketua umum PSSI, yakni Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Tak ada celah bagi tokoh lain. Saat itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, George Toisutta, dan pengusaha Arifin Panigoro dan diganjal masuk bursa calon ketua umum dan wakil ketua umum. Padahal, Toisutta mendapat dukungan 12 Pengurus Provinsi PSSI. Dalam pengumuman yang dilaksanakan Sabtu, 19 Februari 2011, Komite Pemilihan tidak menyebutkan alasan kenapa Arifin Panigoro dan Toisutta tidak diloloskan. Di tingkat Komisi Banding yang diketuai Tjipta Lesmana, Panigoro dan Toisutta kembali gagal. Komisi Banding menolak upaya banding dari dua bakal calon ketua umum itu, sekaligus menolak hasil keputusan komite pemilihan. Sekali lagi, keputusan itu tidak disertai alasan terperinci berdasarkan statuta FIFA. Namun, Panigoro dan Toisutta tak kehilangan pendukung. Dalam Kongres di Pekanbaru pada 26 Maret 2011, muncul apa yang disebut Kelompok 78 yang merujuk pada 78 pemilik suara sah di kongres. Mereka mendukung duet tersebut untuk memimpin PSSI empat tahun ke depan. Kongres Pekanbaru tidak jadi terlaksana karena sejumlah protes dari para pemilik suara, pendukung Toisutta dan Panigoro. Kisruh PSSI membuat FIFA turun tangan, dan membentuk Komite Normalisasi yang diketuai Agum Gumelar, awal April 2011. KN ini menggantikan tugas PSSI, dan bertanggungjawab menggelar kongres serta menyelesaikan dualisme kompetisi sepakbola profesional Indonesia. Selain membentuk KN, FIFA juga mengakui Komisi Banding yang diketuai Ahmad Riyadh. KN sempat ke Swiss menanyakan lagi hal-ihwal nasib pencalonan Arifin Panigoro, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Nurdin Halid. Hasilnya, empat orang itu dilarang mencalonkan diri. Nurdin Halid jelas terganjal statuta, karena pernah terkena kasus hukum. Namun tidak diterangkan poin statuta mana yang digunakan untuk melarang Nirwan, Toisutta, dan Panigoro. Kongres digelar 20 Mei 2011 di Jakarta. Thierry Regennas, salah satu petinggi FIFA, hadir, dan menjelaskan, alasan FIFA melarang Arifin Panigoro, yakni terkait keterlibatan dalam Liga Primer Indonesia. FIFA tak mengijinkan penyelanggaraan liga di luar naungan otoritas PSSI. Sementara pelarangan kepada Toisutta dan Nirwan tidak dijelaskan gamblang. Mereka hanya disebut memecah-belah sepakbola Indonesia. K-78 tidak puas dengan penjelasan FIFA, dan berjanji tetap akan memperjuangkan Toisutta-Panigoro. Kengototan kelompok pro-perubahan ini diwacanakan di sejumlah media sebagai sikap keras kepala dan 'semau gue'. Bahkan sempat terdengar isu, bahwa K-78 akan membuat kongres tandingan. Sesuatu yang dibantah oleh Saleh Mukadar, salah satu tokoh pro-perubahan. Seruan untuk legowo terdengar dari mana-mana. K-78, Toisutta, dan Panigoro diminta berbesar hati dan mengutamakan kepentingan sepakbola nasional, kepentingan bangsa dan negara, demi menghindari sanksi dari FIFA. Tidak ada sanksi FIFA saat itu. FIFA memberikan waktu PSSI menyelenggarakan Kongres Luar Biasa Juni 2011. Seruan agar Toisutta, Panigoro, dan K-78 agar tak keras kepala semakin terdengar. Inilah kisah kebesaran hati episode pertama: Toisutta-Panigoro akhirnya memilih tak mencalonkan diri, dan dukungan dialihkan kepada Djohar Arifin Husein dan Farid Rahman. Mereka tak membikin kongres tandingan, dan memilih bertarung dalam kongres yang direstui FIFA. Duet pro-perubahan ini akhirnya terpilih menjadi ketua dan wakil ketua PSSI. 'Pertarungan' seharusnya selesai. Tapi ternyata tidak. Upaya PSSI memutar kompetisi dari nol secara profesional dan menyatukan Liga Primer Indonesia dengan Liga Super Indonesia ditentang sebagian klub. Klub-klub juga menghendaki PT Liga Indonesia tetap menjadi penyelenggara liga profesional, kendati perusahaan itu tak melaporkan audit keuangan sebagaimana diminta PSSI. PSSI dituding melanggar statuta PSSI yang dibuat di Bali. Pertarungan meruncing. Sejumlah klub yang tidak puas dengan PSSI menolak ikut Primer League, dan memilih berkompetisi dalam Super League yang dikelola PT LI. PSSI melakukan pendekatan kepada klub-klub yang membangkang, namun mendapat penolakan. Suasana memanas, saat Persipura sebagai juara ISL 2010/2011 gagal ikut Liga Champions Asia mewakili Indonesia. PSSI dituduh mengganjal Persipura. Namun PSSI menyatakan, Persipura dilarang ikut oleh Federasi Sepakbola Asia (AFC) karena bergabung dengan liga sempalan (breakaway league). Persipura menggugat PSSI di Pengadilan Arbitrase Olahraga Internasional (CAS). Putusan sela CAS memenangkan Persipura, dan PSSI dinyatakan kalah. Di sinilah episode kebesaran hati yang kedua: PSSI memberikan dukungan kepada Persipura bertanding di tingkat Asia, sebagaimana keputusan CAS. Tidak ada upaya mempersoalkan. Ironisnya, kendati memenangkan putusan sela, Persipura malah menarik gugatannya saat persoalan itu hendak disidangkan lebih lanjut. Para penentang PSSI lantas membentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Berbeda dengan kemunculan K-78 di saat kongres, KPSI muncul di luar momentum kongres. PSSI hasil KLB Solo yang dipimpin Djohar kembali dicitrakan sebagai penyebab munculnya 'pemberontakan' KPSI. Djohar dianggap semaunya sendiri dan melanggar statuta PSSI yang digarap dalam Kongres Bali. Dosa Djohar dianggap 'besar'. Saya tidak tahu: apakah dulu, kala Nurdin Halid memimpin PSSI, tidak dianggap berdosa besar karena melanggar statuta FIFA, sehingga tidak muncul Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia saat itu. Yang jelas, Nurdin tetap aman dan nyaman memimpin periode kedua PSSI hingga akhir masa jabatan yang sepi prestasi itu. Saya hanya sekali mendengar suara ajak klub untuk memberontak pada tahun 2008, yakni dari Persebaya Surabaya yang diketuai Saleh Ismail Mukadar. KPSI lantas membikin kongres berstatus luar biasa (KLB) sendiri untuk menurunkan Djohar Arifin. Berbeda dengan KLB di Solo yang direstui dan diawasi FIFA, tidak pernah ada pernyataan resmi dari AFC dan FIFA yang mendukung pelaksanaan KLB tersebut. KPSI melayangkan gugatan ke CAS. Sebagaimana dilansir Kompas (Rabu, 21/3/2012), gugatan itu antara lain, meminta CAS untuk mengeluarkan putusan agar PSSI membatalkan pelaksanaan kongres tahunan, membekukan Komite Eksekutif PSSI, dan mendesak FIFA/AFC mendukung KLB. KPSI meminta ada keputusan sela mengenai ini. Namun kali ini putusan sela CAS menolak gugatan KPSI. PSSI tetap diakui sebagai lembaga resmi yang bisa menggelar kongres. Dan disinilah kisah kebesaran hati episode ketiga tergelar di depan mata: Djohar tetap meminta klub-klub untuk kembali berkompetisi di bawah naungan PSSI. Bahkan, Djohar mengundang klub-klub yang melawan dirinya untuk ikut hadir dalam kongres tahunan. Bagi Djohar keputusan CAS tersebut adalah momentum baik untuk rekonsiliasi semua pihak. Namun ajakan tersebut kembali ditolak. KPSI justru memilih ketua PSSI sendiri dan membentuk kepengurusan baru, karena menganggap kepengurusan Djohar yang belum berjalan setahun tidak sah. Ini sesuatu yang baru dalam dunia sepakbola Indonesia. Sesuatu yang tak dilakukan klub-klub sepakbola Indonesia terhadap Nurdin Halid yang melanggar statuta FIFA, kendati peluang pelengseran itu ada saat Kongres Sepakbola Nasional 2010 di Malang. Alih-alih dijatuhkan, kita justru ingat, Nurdin disambut hangat dengan kalungan bunga saat itu. Saya tidak tahu sampai kapan konflik ini berjalan. Ajakan rekonsiliasi agar klub kembali ke PSSI sebagaimana didengungkan Djohar rasanya masih menemui jalan gelap di depan sana. Apalagi jika kita menyimak pernyataan Sekretaris Umum Persiba Balikpapan Irfan Taufik, sebagaimana dilansir Harian Kompas, Rabu (21/3/2012) ini. "Jika nanti FIFA mengakui kepengurusan PSSI Pak Djohar, terserah saja. Namun, kami tak mengakui dan tetap di jalur yang kami yakini," kata Irfan. Apakah kita membutuhkan kebesaran hati episode keempat untuk menuntaskan konflik ini? Episode yang bagaimana lagi yang dibutuhkan? Siapakah yang mau menjadi aktor kebesaran hati episode keempat ini? Anda bisa menjawabnya? Mungkin Anda bisa memberikan jawaban Anda kepada seluruh pembaca di Kompasiana ini. Selamat memperkirakan. Salam legowo!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline