SATU
DENDAM PERPISAHAN
Kemarau semakin kerontang. Pantang memberi kesejukan. Walau berupa-rupa doa dan sesajen digelarkan pada ritual penyucian dosa. Mendung tak bertelinga. Langit tak berperasa. Jejak matahari merajamkan jilatan panas pada permukaan bumi. Petang tak mampu menghapusnya.
Tangan dan kakiku terasa licin, mengucurkan kerigat cemas. Gendang telingaku terasa retak oleh raungan tangis Kresna, Anak sulungku yang berusia 13 tahun.
“Mbok, sekali tak mau tetap tak mau, huaaaaa huaaaaa”, jeritnya pilu. Kedua tangannya mencengkeram erat kakiku. Hatiku berderak laksana diguncang badai dua arah. Membuat dua bagian dariku saling terbalik. Nuraniku terasa perih. Menangis keras pada angin tak berwarna. Aku berat melepasnya. Aku terluka parah pada bagian cinta sebagai ibu.
“Kumohon mbok, jangan menitipkan aku pada warok Singo”.
Kulukis masa depan remaja paling tampan di kampungku ini, jika terus bersamaku. Suamiku hanya pemanjat pohon kelapa. Aku kuli gendong di pasar desa. Penghasilan kami berdua tak mampu menjamin masa depannya. Apalagi masih ada dua anakku yang lain. Dua gadis kecil , berusia 10 tahun dan 7 tahun.
“Sikapmu ini benar-benar tak pantas sebagai anak. Durhaka namanya. Bisa kualat”, hardikku penuh kuasa sebagai orang tua. Dalam linangan basah wajahnya, kulihat kilatan amarah dimatanya. Maklum pemuda kecil ini mewarisi sifat keras kepalaku. Namun aku tahu, dia belum lihai berdebat soal kehidupan.
Di pojok ruangan, suamiku duduk berselonjor menghisap rokok kelobot (tembakau yang dibalut dengan kulit jagung kering) di atas tikar pandan. Di sampingnya tergolek nyenyak dua anak gadisku. Tak terganggu.
“Selain durhaka kamu membuat malu bapakmu dan mbokmu. Warok singo sudah memberi kita 5 ekor sapi dan dua bidang sawah. Belum lagi sekarang dia menggelar layar tancap untuk menyambut anak miskin sepertimu”, tambah suamiku.
Bocah ini pasrah sekarang. Ketika kuganti pakaiannya dengan pakaian terbagus. Kudandani wajahnya yang memang sudah tampan sehingga bertambah tampan.
Warok Singo menyambut kami dengan ramah. Menuntun kami ke ruang tamu dengan sikap tak hanya hangat tapi telah panas oleh sukanya kepada Kresna.Di ruang tamunya telah hadir pak lurah, pak camat serta para sesepuh desa.
“Bocah bagus yang benar-benar ganteng, mari duduk sini dekat bapak”’ kata warok Singo sambil membimbing Kresna dengan rangkulan erat. Beliau sama sekali tak memberi perintah mengedarkan rokok kepada Kresna. Lazimnya terjadi pada upacara pertemuan pertama antara warok dan gemblak barunya.
“Bapak tahu kamu suka main perang-perangan, benar kan?”, tanya warok kepada Kresna yang dijawab dengan anggukan mantap.
“ Sama kalau begitu. Dulu selagi seumurmu, bapak paling suka main perang-perangan. Ha ha ha , kita berjodoh cah bagus”.
Penampilan warok Singo berbeda dari warok-warok pada umumnya yang mempunyai penampilan sangar. Warok satu ini tak memiliki kumis tebal, wajahnya bersih dan terawat. Matanya teduh memancarkan cahaya persaudaraan . Tubuhnya tinggi besar, sehingga membentuk sebuah sosok lelaki gagah flamboyan.
“Suka menari?”, tanya seorang warok yang rupanya kawan dari warok Singo. Berkumis tebal dan gempal badannya.
“Aku tidak suka menari. Karena aku ingin menjadi pendekar yang sakti mandera guna”, jawab Kresna lugas. Disambut tawa oleh tamu-tamu warok Singo.
“ Bapak, kau terkenal sakti di kota Ageng Kuning ini. Bapak ingin aku di sini bukan?. Karena itu ajari aku ilmu kesaktian. Kalau tidak mau, aku akan pulang saja bersama mbok”.
Aku terperajat dengan keterusterangan bocah nakal satu ini. Menurutku lancang.
“ Anak cerdas”, puji warok Singo sambil mengelus kepala Kresna. Sebuah reaksi yang tak kuduga samasekali. Tak ada setitikpun marah pada wajahnya yang penyabar itu.
“Kesaktian murni bagi seorang pendekar bukan semata tergantung pada kekuatan tubuh kasarmu ngger, mengerti?”
“ Mengapa bapak?. Tergantung pada tubuh mana?. Tubuhku empuk karena berdaging. Tidak kasar. Jadi saya berbakat menjadi pendekar?”.
“Perlu kau tahu ngger, beberapa tarian memerlukan kesaktian bahkan membuat seorang pendekar bertambah ampuh kesaktiannya”.
Pertanyaan Kresna semakin merepotkan di telingaku. Tapi warok Singo tetap anteng meladeninya. Bahkan dia semakin gembira melayani anakku yang sekarang kelihatan mulai gila untuk menjadi orang sakti.
Tak menangis dia, saat kumelangkah pulang. Bahkan sekarang dia tak peduli padaku. Hidup barunya sebagai obyek sakral bagi sang warok dimulai. Obyek penyelamat nafsu warok kepada wanita, menuju hidup digdaya. Sebuah peran baru Kresna sebagai gemblak.
Rumah joglo itu sepi. Tak terdengar musik reog dari dalamnya, yang mana setiap hari selalu bergema dari rumah itu. Sekarang siang, Tapi rumah itu serasa gelap, tak bergerak dan tanpa nafas.
Aku mematung di gerbangnya. Kedekap kabar pindah group seni reogpimpinan warok Singo ke Jakarta. Meninggalkan pesan kehilangan dalam jiwaku. Menorehkan kesedihan akan perginya Kresna. Disampingku berdiri suamiku.
“ Semua sudah menjadi kehendak Gusti Pangeran”, bisik lelaki luguku, yang selalu menuruti jalan hidup yang telah dirancang rutenya oleh sang dalang hidup.
“Singo tak tahu terima kasih. Kresna tak tahu bakti”’ gumamku kesal pada dua orang yang kuanggap sebagai pengkhianat saat ini.
Bagaimanapun, aku sekedar menitipkan Kresna pada warok paling disegani di kota Ageng Kuning ini. Didampingi keinginan luhur memuliakan hidup keduanya.
“Kamu ini bagaimana Mistun?. Saat warok Singo memberi kita 5 ekor sapi dan dua bidang sawah, setiap hari kau memuji dia . Sekarang kau menjelekkan dia. Begini tidak ilok”.
“ Karena kang Su lelaki maka tak mengerti. Urusan Kresna tak selesai hanya dengan sapi dan sawah”.
Seperti biasa, kang Sudharma memilih diam ketika perdebatan mulai menyala pada perbincangan kami. Reaksi diamnya ini seringkali mengendurkan ketegangan emosiku yang selalu mudah meledak.
“ Lah sekarang kita mau apa tun?” pertanyaan ini membuatku pasrah.
“ Kita pulang tun, kita tunggu dengan sabar, wong cilik kita ini, eling”.
Aku menurut ketika kang Su menuntunku pulang.
Mata Kresna yang penuh amarah ketika melepasku terbayang. Kuhajar rasa bersalah yang memberondongku dengan mengumandangkan, “ anak durhaka, anak durhaka, anak durhaka “.
Bersambung
Madu Keseimbangan
Reog telah menjadi simbol nasional. Tari dan musiknya yang gagah mampu meluluhlantakkan perasaan para penontonnya.
Pelaku utama seni reog adalah warok dan gemblak. Dimana kisah keduanya selalu membuat penasaran setiap orang. Kehidupan rahasia antara warok dan gemblak selalu panas menggelora. Mengundang aneka pro dan kontra dari berbagai kalangan maupun disiplin ilmu.
Sebelum menjelajah halal dan haram kehidupan warok dan gemblak dalam menggapai kehidupan suci, mari kita teliti batas antara kejahatan dan kebaikan dalam kehidupan manusia .
Saat kuselesaikan tugas-tugasku di atas meja, pikiranku menangkap diagram angka. Kugapai kertas. Kuamati seksama. Jawaban akan batas itu mengejutkanku. Kutinggalkan beberapa saat kerjaku. Toh mereka mengira aku menekuri kertas-kertas tugas. Kebaikan dinamakan positif. Kejahatan dinamakan negatif. Batasnya adalah nol alias kosong. Bisa dikatakan keduanya berdampingan layaknya pengantin. Dua-duanya bahkan saling tarik menarik satu sama lain. Inilah gravitasi bumi yang sering dilupakan sehingga penghakiman keji gampang terlontar. Penghambaan pilih kasih dari salah satu sisi itu mampu menghasilkan akibat yang tak bagus. Parah buruknya. Parah kejinya.
Dalam sejarah manusia wanita sangat di agungkan. Wujud dewa maupun tuhan cinta, sang pengasih selalu digambarkan dalam wujud wanita. Dewi Sri contohnya. Dewi padi yang mampu membuat kenyang kita.
Wanita yang agung , mulia serta sumber keindahan tertanam dalam pikiran sebagai pusat kenikmatan. Bagi kehidupan suci, terlalu mengumbar kenikmatan adalah terlarang. Lalu pengalihan obyek kenikmatan terjadi. Meluncur ke arah daya tarik sisi negatif yang diacuhkan. Yang iri karena kekurangan kekuatan. Gemblakpun muncul dalam keterasingan dunia wara yang mabuk akan kedigdayaan kesucian.
Hal serupa terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Coba kita bayangkan, ketika kita sangat membenci seseorang yang kita anggap jahat, mesum maupun cabul. Parahnya kafir. Hasrat merusak kita muncul. Bukan dalam bentuk tindakan baik lagi. Tapi dalam bentuk keburukan melebihi tindak kejahatan yang mereka perlihatkan kepada kita.
Coba mari kita bayangkan ketika kita melakukan banyak kejahatan. Rasa sesal akan muncul. Kita terseret secara otomatis untuk memperbaiki diri. Perbuatan baikpun kita bentuk.
Oh ternyata kejahatan dan kebaikan bergandengan sangat erat. Orang yang menyenangkan bagi saya adalah orang yang mampu tinggal di wilayah kosong itu. Dan hanya beberapa gelintir saja yang mampu saya temui. Mereka rata-rata menyenangkan sebagai teman. Pantang menghakimi. Itulah penghuni wilayah kosong itu.
Kisah ini terinspirasi dari buku yang berjudul :
Gemblak : Tragedi cinta Budak Homoseks.
Karya: Enang Rukajat Asura.
Enang mengangkatnya dari sisi relijiusitas. Sangat menarik. Pergulatan dosa dan noda mantan gemblak sangat menantang untuk disimak.
Saya tertarik mengangkatnya dari kacamata kaum abangan. Dimana kaum ini sebenarnya yang terbanyak dalam kehidupan saya. Dalam masyarakat abangan saya berkembang dengan leluasa mencari hakikat hidup yang misteri ini.
Mengambil dari sisi ibu sang gemblak. Yang oleh tradisi hidupnya dia diajari pergemblakan adalah biasa. Di satu sisi yang berseberangan dia menempatkan sebagai ibu sebagai pusat surga bagi anaknya. Jadi terbentuklah karakter ibu yang aneh ini. Yang sebenarnya banyak kita temui dalam masyarakat kita. Pantang di tentang. Karena menentang ibu adalah tabu.
Kata pengantar ini sengaja saya letakkan setelah bab satu. Karena saya bosan dengan kata pengantar di depan . Mirip dengan kata basa- basi pembuka rapat.
Sebuah tulisan ngawur. Harap dimaklumi.
Salam keseimbangan hidup.
Kelanjutan Kujual Cah Bagusku kepada Nafsu Sakral (2) Kujual Cah Bagusku kepada Nafsu Sakral (3) Kujual Cah Bagusku kepada Nafsu Sakral (4)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H