Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Kejayaan Kependidikan Minangkabau

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mengembalikan Kejayaan Kependidikan Minangkabau

Pendidikan merupakan salah satu kata fenomenal yang gaungnya seringkali kita dengar dari berbagai media mulai dari buku, surat kabar, Televisi, seminar-seminar, talkshow dan lain sebagainya yang menunjukkan bahwa Pendidikan merupakan sesuatu yang urgent dan mutlak musti dipertahankan kedinamisannya dalam lingkungan dewasa ini.

Mengembalikan Kejayaan Kependidikan Minangkabau

Ketika membaca deretan kata-kata di atas, mungkin ada yang bertanya-tanya, “Oh, pendidikan di Minang pernah berjaya ya?”

Memang sesuatu hal yang sulit dijawab, karena kejayaan dan kesuksesan itu bisa ditilik dari berbagai sisi dan pihak dengan klasifikasi yang berbeda dari masa ke masa, sehingganya akan terkesan sangat subjektif. Namun walaupun kita belum pernah melihat kejayaan pada sistem pendidikan yang dipakai oleh ranah Minang tercinta secara nyata, sekurang-kurangnya kita memiliki sosok-sosok panutan yang berhasil mencitrakan betapa ber-NILAI-nya pendidikanyang pernah diterapkan di ranah Minang. Sebut saja Buya Hamka. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.

Memang tak ada sistem tertentu atau sistem yang ideal dalam dunia kependidikan ini. Semua memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Namun ada yang harus kita perhatikan, di manapun terutama di Minangkabau, setiap pendidikan yang dilaksanakan harus “berkearifan lokal”, menyesuaikan dengan kultur dan adat istiadat di wilayahnya. Kurikulum-kurikulum yang diberikan juga mengandung hal-hal yang dibutuhkan oleh peserta didik jika kelak terjun ke lapangan masyarakat. Apa gunanya belajar begitu lama dan begitu tinggi, menghabiskan waktu belasan tahun, malah sampai dua puluh atau dua puluh lima tahun, kalau pada akhirnya menjadi sarjana pengangguran atau intelektual pengangguran.

Dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mendidik generasi bangsa ini  menjadi orang yang bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam realita pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mall, plaza dan tempat rekreasi. Barangkali itu semua terjadi karena kita, pemerintah, masyarakat, orangtua dan guru, telah salah dalam mendidik. Kalau begitu kita semua harus bertanggung jawab atas fenomena ini

Nah untuk itulah generasi-generasi senior seperti orang tua, guru, senior, mamak, kakak, yang telah sukses perlu tahu bahwa mereka harus membekali generasi muda, anak- anak dengan suatu kekuatan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan ini.

Untuk mendapatkan ilmu dan juga percontohan, kita tak perlu jauh-jauh melakukan studi banding. Masih ingat dengan filosofi “Alam takambang jadi guru”? Sebuah filosofi yang mengantarkan masyarakat Minang dikenal sebagai orang yang cerdas.

Contohnya saja: Induk ayam., secara instink tahu sekali bahwa ia  perlu mengajar anak- anaknya agar bisa memiliki kekuatan untuk menghadapi hidup. Ia memberi model (pelajaran dan contoh langsung) bagaimana agar mereka bisa memiliki cakar dan paruh yang kuat untuk mengais rezeki yang tersembunyi. Kucing liar (bukan kucing rumahan yang hidup manja) secara instink juga mengajar  anak- anaknya lewat latihan dalam bentuk pemodelan- melompat dan menerkam- agar anak anaknya bisa menjadi cerdas untuk melompat, menerkam dan mencakar rezki dan meghadapi problema hidup dengan tangguhnya.

Yah, alangkah bagusnya jika kita bisa memahami semua pesan alambaik yang terlihat secara langsung ataupun secara tidak langsung untuk mengambil pelajaran darinya. Sesuai dengan filosofi ini, semakin menguatkan kalau masyarakat Minangkabau adalah seorang pembelajar yang berproses dengan dinamika ilmu yang disajikan alam.

Lantas bagaimana eksistensi orangtua dalam mendidik dan mewarisi kehidupan yang layak bagi anak ? Terus terang bahwa tidak banyak orangtua yang tahu teori tentang mendidik. namun mereka mewarisinya dalam bentuk pemberian model, latihan dan kesempatan dalam berbuat.

Orang tua, dalam generasi masa lalu, mempunyai banyak anak, karena program Keluarga Berencana belum mereka kenal. Saat itu alam dan lingkungan masih aman, ramah dan jauh dari berbagai jenis polusi. Mereka membiarkan anak lepas di alam bebas, mengeksplorasi alam. Bila sudah agak besar, dalam tradisi orang Minang masa lalu, maka anak laki- laki memilih tidur di surau. Disana mereka berbagi ilmu tentang life skill – kecakapan hidup- bersilat, berpidato dan mengolah lahan. Bila saatnya tiba, maka ayah dan / atau paman (mamak) memberi model dan peran dalam kehidupan- seperti mengurus kebutuhan kaum kerabat- dan demikian juga anag gadis memperoleh peran sesuai dengan posisinya di rumah.

Ibu dan ayah karena punya banyak anak  musti membanting tulang sebagai wujud tanggung jawab. Ibu pun kekurangan waktu dalam mengurus anak secara detail. Anak saat itu jauh dari karakter over protective (watak terlalu melindungi), karakter orang tua yang serba melarang dan karakter serba membantu.

Pada masa itu setiap anak dari kecil sudah mengenal hidup susah, mereka serba mencoba pengalaman hidup-  diterpa oleh hujan dan panasnya kehidupan. Bila masa akhil balikh berakhir, memasuki awal usia dewasa. Mereka merasa malu untuk menjadi “anak mama”. Atau anak yang selalu berada di bawah ketek orang tua. Bagi mereka merantau adalah menjadi solusi dan alternative terbaik. Merantau untuk mencari hidup dan ilmu. Adalah fenomena pada saat itu, orang Minang dikenal sebagai perantau yang ulung. Mencari pengalaman hidup, belajar untuk hidup susah.

Almarhum Buya Hamka memberikan perumpamaan ibarat memakan tebu, memulai dari ujung yang hambar dan kelak berakhir di ujung dengan kehidupan yang manis. Ujung yang manis sebagai hasil pengalaman hidup yang hambar dan pahit membuat orang Minang pada masa itu dikenal sebagai pedagang yang ulet dan tangguh di negeri orang.

Tetapi bagaimana keadaan generasi belakangan? Generasi dimana setiap orang tua sudah agak tinggi tingkat pendidikannya, paling kurang tamat SLTA dan sudah paham manfaat memiliki dua atau tiga anak- keluarga yang kecil. Anak- anak yang tumbuh dalam keluarga kecil pertumbuhan biologinya lebih bagus, bisa memiliki asupan gizi yang lebih baik. Namun bagaimana dengan asupan pengalaman hidup mereka ?

Orang tua zaman sekarang, sebahagian, cendrung bersifat over protective, suka mencampuri kehidupan anak sampai terlalu detail, serba melarang dan banyak memanjakan anak dengan hal yang bersifat banyak hiburan. Orang tua zaman sekarang hanya lebih mencikaraui pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak , namun cendrung tidak tidak tahu atau kurang peduli terhadap perkembangan dan pendidikan pada aspek lain- kecakapan hidup, spiritual, emosional , sikap positive  dan kecakapan  lain nya.

Pendidikan yang kita lihat saat ini bukan atau yang belum mendidik adalah fenomena yang juga terjadi dalam dunia pendidikan (baca: di sekolah). Sekali lagi,  buat apa anak- anak belajar dari SD, SMP, SLTA dan terus ke Perguruan Tinggi dan tamat kalau hanya akan menjadi pengangguran. Apakah ini merupakan hasil dari bentuk dan  gaya pendidikan yang mereka lalui selama ini?

Walau semua guru sudah tahu bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar yang dituntut oleh kurikulum, maka tetap saja pembelajaran yang tradisional atau konvensional itu menarik dan sangat praktis - teacher centered, metode mencatat, metode berceramah, metode menghafal dan murid yang harus membeo atau membungkam. Agar nama guru bagus atau nama sekolah harum , Maka siswa harus bisa mengejar skor yang tinggi. Kunci nya adalah pembelajaran berfokus pada hasil- proses tidak perlu dihiraukan – anak atau siswa harus kaya dengan bentuk dan model test. Anak perlu digiring ke dalam suasana kelas yang membosankan- mereka harus rela berkorban untuk tidak membantu orangtua di sawah, mengawasi air kolam, atau memasak bersama nenek atau etek mereka di rumah, karena tuntutan sekolah lebih penting dari pada membantu orang tua dan melaksanakan tugas- tugas tadi. Namun kalau anak tidak punya kecakapan hidup, apakah itu karena kesalahan orang tua atau karena sekolah memonopoli waktu anak untuk berbakti (?).

Jadi untuk bisa mengembalikan kejayaan kependidikan di Sumatra Barat atau paling tidak memperbaiki sistem pendidikan agar terarah pada model yang ideal (walau tak ada sesuatu yang ideal) memang tak sekedar mempersiapkan generasi dengan merecokinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan, namun kita harus mempersiapkan anak-cucu kita dengan berbagai lifeskill aga bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Dan untuk itu tak ada salahnya jika kita kembali mengaktifkan sistem pendidikan tradisional para orang tua kita di masa lampau. Dimana anak dididik bukan hanya untuk sekedar pintar di bidang science, namun juga memiliki kekuatan aqidah, cerdas dalam menghadapi masalah hidup, mampu bersosialisasi, berbudi pekerti luhur, serta tak ketinggalan agar mampu menjadi GENERASI PENERUS sekaligus GENERASI PELURUS yang akan meneruskan budaya tradisional daerahnya serta meluruskan tatanan-tatanan kehidupan masyarakat yang boleh kita katakana carutmarut saat ini.

Sebagaimana yang banyak digalakkan sekarang, bahwa kepintaran itu tak hanya sebatas kepintaran IQ (Intelectual Question), namun juga EQ (emotional Question), dan SQ (Spiritual Question). Pendidikan untuk anak TIDAK terbatas kurikulum. Orang tua, guru, masyarakat harus saling bahu membahu untuk merekayasa kurikulum hidup yang kompleks demi tercapainya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik ke depan. Karena hidup ini bukanlah hanya perputaran siang dan malam, bukan hanya pergantian lapar dan kenyang, bukan hanya pilihan antara suka dan tidak suka, cinta dan benci, bukan hanya aktualisasi emosi dan nafsu, namun hidup adalah bagaimana kita mengikuti proses dan berproses, meng-up grade diri untuk senantiasa bergerak menjadi yang terbaik yang bisa kita lakukan di dunia dan mempersiapkan bekal untuk pulang ke kampung akhirat.

Tulisan Untuk Mengikuti Seleksi UNAND AWARD 2010

12 Februari 2010

http://zonacahayamata.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline