Menonton Gadis Kretek adalah menyaksikan fiksi dan menikmati realitas yang sedap. Film ini berlatar budaya jawa pada tahun 1960-an yang mana posisi perempuan adalah makhluk nomor dua. Domestikasi masih sangat kental dalam kehidupan sehari-hari perempuan di zaman itu. Tanpa peran laki-laki yang membawanya untuk keluar dari kebiasaan dalam rumah, rasanya mustahil.
Misal saja, Jeng Yah tanpa ayahnya, mungkin ia tak akan menjabat atau mengerjakan pekerjaan sebagai mandor bagi pegawai ayahnya. Ia juga tak akan masuk ke dalam ruang saus tanpa Raja. Ia juga takkan selamat dari pemerintah tanpa Seno. jalan selamat perempuan dalam cerita itu ada di tangan laki-laki sekitarnya.
Namun ada satu hal yang saya temukan sangat lekat dengan realita kita hingga hari ini, yakni bahwa semua pernikahan dalam cerita itu tak ada yang tulus karena cinta. Sekalinya dua sejoli saling mencintai, mereka malah tak dapat menikah. Bisa karena banyak alasan, cinta gagal menyatukan dua manusia.
Dalam film ini kita mendapat contoh, misal saja, Ayah Jeng Yah dan istrinya yang ternyata, istrinya masih memiliki cerita dengan Pak Jagat. Tidak banyak cerita tentang latar belakang ibu Jeng Yah, namun dari reaksi pasif setiap hadirnya pak Jagat, kesimpulan dapat saya tarik.
Di satu sisi lagi, Seno dan Jeng Yah, awalnya terlihat serasi, namun Jeng Yah lebih memilih Soeraja sebagai calon suami. Hubungan Seno dan Jeng Yah awalnya adalah perjodohan untuk langgengnya bisnis kretek ayah Jeng Yah. Yang paling epik dan menjadi cerita panjang pastinya cinta Jeng Yah dan Raja yang dipisahkan kenyataan.
Sudah hampir menikah namun konflik penumpasan partai merah memisahkan mereka. Hingga Raja menikahi Purwanti demi menjadi keluarga agar dapat menjadi rekan bisnis Pak Jagat.
Sekalinya kedua sejoli hendak bersatu kembali, maut memisahkan. Takdir dan kenyataan tidak memihak pada mereka. Satu kali lagi gambaran bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang terpisah dan tidak terkemas dalam satu, dapat terpisah karena cinta pada hal lain atau aspek kehidupan lainnya.
Kisah ini membawa saya pada renungan soal tak semua yang menikah itu karena saling mencintai, tak semua yang saling mencintai itu menikah. Terasa banyak sekali alasan selain cinta untuk dua manusia menyatakan hidup bersama hingga akhir hayat. Dengan kandungan hawa nafsu dalam dirinya, manusia bisa saja menikah karena alasan remeh temeh.
Misal saja, resah sudah merasa sudah harus menikah karena umur yang terhitung dewasa, lalu lingkungan pergaulannya sudah banyak yang menikah, tuntutan keluarga hingga omongan tetangga. Saya sadar tekanan sosial yang ada di sekitar seringkali membuat seseorang terdesak. Dan, dalam keadaan terdesak, manusia seringkali lebih sembrono dari biasanya.
Kesembronoan manusia membuat bentuk nyata sebuah pernikahan hanya sekadar sebuah perayaan pesta dan ritual keagamaan. Cinta yang dikenal juga adalah bentuknya, bukan konsepnya, yang mana cinta yang harus memiliki berbagai pertanda agar tampak mencintai.
Misal saja, tanda cinta pada pasangan adalah menyatakan 'I love you' setiap hari. Hal ini adalah bentuk tampak cinta yang bisa jadi dipaksakan. Karena kita tak dapat menilai niat seseorang hanya dari bentuk nyata sebuah konsep saja. Maling pun akan mengatakan sayang pada korbannya demi bisa mencuri. Jadi, hati-hati dengan hatimu karena cinta yang sejati adalah cinta yang semakin dapat menyakiti