Lihat ke Halaman Asli

Skandal Panama Papers dan Implikasinya untuk Indonesia

Diperbarui: 12 Mei 2016   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kasus Panama Papers menjadi berita yang booming beberapa waktu yang lalu. Seluruh media massa, baik cetak, televisi, hingga online, membahas mengenai berita yang diperoleh dari surat kabar di Jerman, yaitu Süddeutsche Zeitung (SZ). Ini merupakan hasil penelusuran yang banyak melibatkan kalangan wartawan di seluruh dunia. Terdapat sejumlah nama tokoh terkenal dari berbagai kalangan yang dibeberkan pada Panama Papers tersebut, baik dari kalangan pengusaha maupun politisi.

Tak ketinggalan nama-nama tokoh terkenal di Indonesia terdapat pula pada Panama Papers, seperti Sandiaga Uno, Rini Soemarmo, Harry Azhar Aziz, Chairul Tanjung,Erick Thohir, dan sebagainya (Kompas.com, 2016). Terdapat total 899 nama Warga Negara Indonesia (WNI) pada Panama Papers. Para tokoh tersebut diduga menghindari pembayaran pajak dalam negeri dengan cara menimbun kekayaan di Panama sebagai negara tax heaven. Maka, tak heran apabila mereka diancam mundur oleh publik dari jabatan strategisnya, khususnya bagi politisi, karena dianggap melanggar kode etik (Kompas.com, 2016).

Usaha Peningkatan Rasio Pajak

Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat yang merupakan negara kaya ini ternyata memiliki hutang negara, khsusunya hutang pemerintah, yang besar. Peringkat pertama diduduki oleh Amerika Serikat, kemudian di peringkat selanjutnya ada Inggris dan Perancis. Hal ini membutktikan bahwa pemerintah di negara-negara tersebut kesilitan dalam membiayai tugas-tugas negara. Uang yang dimiliki oleh warga negaranya akan langsung diinvestasikan ke luar negeri, khsusunya ke negara tax heaven.

Persaingan negara-negara sebagai financial centerini juga menjadi salah satu faktor pendukung ‘larinya’ investasi ke luar negeri. Mereka bersaing untuk menarik negara-negara lain supaya menanamkan uangnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai tawaran yang menarik, seperti kerahasiaan, suku bunga, pajak, dan sebagainya. Secara implisit dapat dilihat adanya persaingan antarbank di lingkup internasional.  Maka, tak heran apabila ‘larinya’ investasi ini berdampak pada sedikitnya persentase penerimaan pajak oleh pemerintah karena ketidakmampuan melacak pendapatan yang dimiliki warga negaranya.

Indonesia sendiri bukan merupakan negara yang menarik untuk mendapatkan penanaman investasi. Uang dari WNI disimpan di bank yang ada di luar Indonesia. Hal ini mendorong rasio pajak negara yang kurang optimal. Maka, perlu adanya sistem pelaporan pendapatan bagi warga negara, baik pendapatan dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, seluruh pendapatan akan dapat terlacak oleh pemerintah sehingga dapat melakukan penagihan pajak yang sesuai dengan besaran pendapatannya.(Ailan, 2016)

Adanya Panama Papers ini semakin memperjelas upaya dan pihak yang melakukan penghindaran pajak sehingga mengakibatkan kurang optimalnya penerimaan pajak oleh negara. Pajak yang sejatinya digunakan untuk membiayai kegiatan negara dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ini malah dihindari dan disimpan oleh orang-orang kaya. Inilah yang menjadi cikal bakal adanya kesenjangan kekayaan di masyarakat yang mana juga merupakan bukti tidak adanya akuntabilitas.

Panama Papers: Propaganda Pelaksanaan FATCA dan CRS

Meledaknya kasus Panama Papers ini diisukan oleh masyarakat sebagai upaya propaganda pelaksanaan FATCA dan CRS. FATCA merupakan usaha dari Amerika Serikat yang mewajibkan seluruh pemilik rekening bank di negaranya untuk melaporkan ke Dirjen Pajaknya. Sedangka CRS merupakan upaya dari Eropa bersama dengan negara-negara lain untuk melakukan tukar-menukar informasi secara resiprokal atas laporan rekening bank.

Adanya FATCA dan CRS ini merupakan bukti masuknya perbankan ke era baru yang mana sistem kerahasiaannya tidak ada lagi. Hal ini ternyata juga dibahas lebih komprehensif lagi pada KTT Perpajakan yang diselenggarakan di Berlin. Namun, era baru ini ternyata merugikan negara-negara selain penggagas FATCA dan CRS karena perlu mengeluarkan biaya untuk membuat dan mengirimkan laporan rekening bank. Selain itu, laporan yang masuk ke negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat tentunya akan lebih banyak daripada yang akan dilaporkan sehingga pada akhirnya negara penggagaslah yang mendapatkan informasi lebih banyak dan lebih diuntungkan.

Implikasi khusus bagi Indonesia adalah adanya amandemen Undang-Undang (UU) Perpajakan dan Perbankan untuk menyesuaikan kerjasama FATCA dan CRS yang telah ditandatangani. Pemerintah perlu waspada dengan berlakunya UU pengampunan pajak karena ditakutkan malah akan merugikan negara sendiri. Para pengemplang pajak yang kebanyakan berasal dari kalangan pengusaha ini tentunya akan buru-buru melaporkan besaran pajaknya yang terutang supaya dapat diberi pengampunan.(Baswir, 2016)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline