Sejak pertama kali manusia eksis, ia tak terpisahkan dari semesta, dari alam. Bermula dari sikap hidup yang begitu sederhana dalam interaksinya dengan alam, perlahan-lahan manusia berkembang, dan di sana pula terlihat kebudayaan yang perlahan mengalami evolusi, menjadi kian kompleks dari waktu ke waktu. Alam kemudian tidak berhenti sebatas "mesin raksasa" yang dingin, melainkan menjadi sesuatu yang hidup, memiliki ruh, dan juga semacam kehendak.
Manusia yang hidup dalam pemahaman semacam ini bergerak dalam sirkuit peradaban sebelum masa renaisans, masa sebelum manusia menemukan sikap hidup yang antroposentris---yang pada gilirannya menempatkan manusia secara subjektif di puncak hierarki.
Dalam keterkesimaan, manusia hidup dalam alam, dan kemudian menyusun ragam konsep filsafatnya, mitologi, dan bahkan teologi. Manusia dan alam, dalam kebudayaannya yang paling primordial, memiliki semacam pemahaman kosmologi yang menghubungkannya dengan alam dan juga eksistensi adikodrati yang lebih umum dikenal sebagai Tuhan.
Dari sekian banyak ragam kebudayaan komunal manusia dalam menyusun konsepsi kosmologisnya, manusia Sunda merupakan salah satu yang cukup intens dalam menghayati eksistensinya dengan alam dan juga Tuhan itu. Kita dapat membaca dalam beberapa literatur bahwa manusia Sunda sampai pada suatu konsepsi kosmologi tripartit yang membagi tiga eksistensi dasar: Tuhan, manusia, dan alam. Hal ini dapat diselusuri melalui konsep Tri Tangtu mereka, konsep kesatuan tiga, yang merumuskan eksistensi Resi, Ratu, dan Rama.
Resi sebagai suatu Kehendak, secara simetris dapat dianggap sebagai posisi Tuhan, kemudian Ratu sebagai suatu Ucapan, secara simetris dapat dianggap sebagai posisi manusia, dan Rama sebagai suatu Tindakan, secara simetris dapat dianggap sebagai posisi alam. Ketiga posisi ini merupakan suatu kesatuan yang saling melengkapi, dan ketiadaan salah satunya merupakan suatu ketidaklengkapan struktur. Artinya, keseimbangan dapat diraih apabila ketiga entitas ini diposisikan sebagaimana mestinya secara epistemis maupun praktis.
Melalui penggambaran sebelumnya maka dapat diungkapkan, bahwa manusia Sunda adalah masyarakat yang memiliki keterikatan erat dengan alam. Keterikatan ini tidak hanya bersifat material-fisikal, melainkan---dan terutama---bersifat emosional-spiritual. Alam, bagi manusia Sunda, menjadi semacam media transendensi. Artinya, melalui alam, manusia Sunda dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan.
Keterikatan manusia Sunda dengan alam sendiri dapat terlihat melalui ragam wujud ekspresi kebudayaan mereka. Misalnya dalam kesenian, manusia Sunda melahirkan ragam tembang yang banyak mengandung diksi yang mengungkapkan hasil permenungan kolektif-kultural mereka. Permenungan ini banyak mengungkap nilai spiritual-estetis dari eksistensi alam. Suatu wujud emosional yang melahirkan perasaan wa'as, suatu perasaan yang timbul atas reaksi antara fenomena empiris dengan pengalaman seseorang yang membuat hatinya tergetar. Semacam perasaan yang lahir dari momentum yang intens.
Selain melalui kesenian, manusia Sunda juga hidup dengan kemampuan membaca alam. Kemampuan ini, dalam terminologi Sunda, disebut sebagai kila-kila. Kila-kila atau totondn (tanda-tanda) merupakan semacam kode yang dapat dibaca serta memberikan petunjuk prediktif. Kila-kila ini lahir dari alam, yakni dari benda-benda di luar manusia. Berbeda dengan firasat yang lahir dari dalam diri manusia. Dalam konteks ini, alam menjadi semacam kamus yang dapat dibaca oleh manusia Sunda untuk memahami hidup.
Kemampuan membaca tanda-tanda alam ini pada gilirannya membuat manusia Sunda mampu menciptakan konsep tata ruangnya sendiri. Misalnya dalam pengelolaan hutan, di beberapa masyarakat hukum adat Sunda (misalnya masyarakat hkum adat Cigugur) dapat dikenali adanya zonasi hutan; leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung baladahan. Zonasi ini lahir dari pemahaman manusia Sunda akan fungsi-fungsi ekosistem serta kecenderungan pengelolaan yang tepat sesuai lanskap yang mereka hidupi. Meskipun secara praktis pemahaman ini bersifat fungsional, ada juga pemahaman spiritual yang melandasinya, yakni pemahaman mengenai tata kelola air berbasis mitologi, Sanghyang Patanjala.
Selain itu, dalam kesadaran ruang, manusia Sunda memiliki pemahaman bahwa di setiap "titik" hutan ada lokasi yang "sudah sepantasnya disucikan", atau yang umum dikenal dengan nama kabuyutan.
Kabuyutan sendiri dahulu kala umum berada di suatu lokasi hutan yang memiliki makna spiritual yang kental, atau memiliki vibrasi yang unik---yang menuntut pemeliharaan yang begitu hati-hati, sehingga melahirkan aturan-aturan adat. Namun dalam penerjemahan lain, lokasi itu "dimuliakan" bukan semata-mata karena lokasinya, melainkan karena nilai yang dilahirkan dari orang-orang yang menghidupi ruang di sana. Maka konsep kabuyutan dapat diartikulasikan secara lain, bahwa kabuyutan tidak melulu berkaitan dengan lokasi hutan yang rimbun, lembap, dan sunyi, tetapi ruang mana pun yang di dalamnya terkandung nilai-nilai mulia untuk kehidupan. Dalam perspektif pedagang, misalnya, kabuyutan dapat berarti pasar, karena di pasarlah ia bekerja dan berkarya serta memenuhi panggilan identitas eksistensialnya sebagai manusia yang dilahirkan untuk berniaga. Begitu pula dalam perspektif akademisi, misalnya, kabuyutan dapat berarti kampus, karena di kampuslah ia belajar dan berdiskusi untuk memecahkan ragam persoalan (terutama yang teoretis) untuk memenuhi tugas dirinya, raison d'tre-nya.