Buku ini merupakan sebuah album foto. Sekurang-kurangnya, di dalam buku ini ada dua jenis foto: (1) Foto berbentuk gambar dan (2) foto berbentuk teks, tepatnya puisi. Keduanya sama-sama menyajikan peristiwa tertentu, yang abstrak maupun yang konkret---dan tentu saja, emosional. Penulisnya sendiri, kadang menjadi mata subjek yang memandang suatu peristiwa, tetapi dalam kesempatan yang lain, dalam ruang dan waktu yang lain, ia melebur menjadi bagian dari peristiwa yang ia potret. Penulis hidup di antara dua profesi: (1) Subjek-yang-Memotret dan (2) Subjek-yang-Dipotret.
"Duka tersimpan
Pada puing-puing yang diruntuhkan"
- Byblos (p. 4)
Ada yang abstrak, "duka disimpan," seolah-olah duka adalah sandal, benda. Tetapi ada pula yang konkret, yang menubuh, "puing-puing yang diruntuhkan" itu. Bangunan-bangunan fisik, diluluh-lantakkan dengan sengaja karena berbagai alasan, atawa kepentingan. Puing-puing di sini kuat dugaan merupakan sisa kampung halaman, yang membuat penduduknya kehilangan rumah, dan tentu saja membuat mereka menangis atau marah. Permusuhan antara Yang-Menghancurkan dan Yang-Dihancurkan menjelanak ke atmosfer. Dalam kesadaran itu, orang-orang Yang-Dihancurkan pergi, mencari rumah baru, mencari hunian. Namun:
"Tak ada lagi yang tersisa
Hanya jejak-jejak kaki
Tertinggal di pasir menuju hutan lebat
Menuju tempat yang tak punya alamat."
- Ishmael Beah (p. 9)
Kebingungan, derita, pengasingan, menjadi denyut nadi bagi mereka yang kehilangan rumah, dan membuat mereka menjadi makhluk baru nan menyedihkan bernama "pengungsi". Ketakutan dan harapan berkelebat dalam pandangan yang kosong ketika kaki-kaki mereka melangkah ke antah-berantah. Dalam waktu yang sama, orang-orang di belahan bumi lain, yang hidup dalam dunia yang relatif lebih "manusiawi", berlomba-lomba menyampaikan simpati yang kering. Penulis menyampaikan semacam sinisme.
"Kau masih terus berdebat