Lihat ke Halaman Asli

Toleransi Sebagai Tolok Ukur Keberadaban: Harga Mati atau Gengsi?

Diperbarui: 25 November 2016   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Toleransi beragama berasal dari kata ‘toleransi’ dan ‘beragama’. Menurut KBBI, ‘toleransi’ adalah bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, atau memperbolehkan suatu pendapat dan pandangan yang berbeda dengan pendirian sendirian. Sedangkan kata ‘beragama’ berarti memeluk atau menganut suatu agama. Dengan demikian, toleransi beragama bisa diartikan sebagai penenggangan sikap terhadap pandangan yang berbeda tentang suatu agama.

Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini marak aksi demonstrasi antar umat beragama terkait dengan persoalan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif), Basuki Tjahaja Purnama, yang kerap disapa Ahok. Kasus ini mulai berkobar di berbagai kalangan sejak beredarnya video suntingan Buni Yani yang menghilangkan kata ‘pakai’ pada videonya sehingga menimbulkan tanggapan bahwa Ahok telah menyalahgunakan ayat Al-Ma’idah. Ramai diperbincangkan, dengan waktu singkat Ahok terseret hujatan akibat tudingan penistaan agama, terlebih oleh umat Muslim, terbukti dengan adanya demonstrasi pada tanggal 4 November 2016 silam. Walaupun kala itu, suami Veronica Tan ini telah berulang kali meminta maaf.

Tak perlu dipungkiri, kasus ini telah ‘mengguncangkan’ Indonesia hingga mampu mengarak berbagai kalangan jauh-jauh ke Jakarta untuk demonstrasi, yang diwacana adalah aksi damai, namun berakhir dengan kericuhan. Tentu kasus ini menimbulkan berbagai respon. Ada respon yang baik dari sebagian masyarakat, baik kaum Muslim maupun kaum Nasrani. Mereka berkata bahwa setiap agama menganjurkan kebaikan; kecerobohan berasal dari manusia, bukan agamanya; ada pula yang menyampaikan bahwa agama apapun mengajarkan kedamaian. Tetapi, masih ada tanggapan yang memprihatinkan, hingga menyentuh kata tidak wajar.

Banyak kalangan yang dengan emosi berpendapat bahwa ‘kaum Ahok’ tidak mampu menghargai keberagaman di Indonesia, tidak bertoleransi antar umat beragama, kaum minoritas menindas kaum mayoritas, dan lain sebagainya. Namun, mau tak mau, diakui atau tidak, tak sedikit umat Muslim yang menghina kaum Kristiani. Terlebih di media sosial, wadah dimana orang dengan seenaknya mengeluarkan aspirasi mereka, banyak dari mereka yang ikut menghina umat Kristiani, mendebatkan ayat-ayat, hingga dengan berani menghina Yesus, yang diyakini umat Kristiani sebagai Juru Selamat. Lagi-lagi, harus diakui, ada juga kaum Kristiani yang mudah tersulut emosi, bercampur dengan berbagai perdebatan ayat, mendebatkan kehadiran kata ‘pakai’ dengan berbagai perumpamaan, membalas caci-maki dengan membahas kasus seperti pembakaran atau pengeboman gereja, dan lain sebagainya.

Dapat dijamin semaksimal mungkin bahwa tiada akan berdamai jika mental Indonesia seperti ini terus menerus, mudah terprovokasi, mudah tersulut emosi. Melihat bahwa kasus ini berkelanjutan, tampaknya masyarakat justru menikmati adegan ini. Bukankah akan lebih baik jika saling menghargai? Lebih baik lagi jika turut saling memaafkan karena sesungguhnya kesalahan ada di kedua belah pihak, saling menghina, saling mencaci dan menyalahkan. Telah terpampang jelas keributan dapat dijumpai dimana saja. Bukankah keributan hingga aksi anarkis sesungguhnya tidak mencerminkan keberadaban manusia? Bagaimana dengan bunyi sila ke-2 dari Dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila? Bukankah itu menjadi omong kosong hanya karena rakyatnya? 

Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya, Indonesia sangat berkecukupan. Alangkah baiknya jika Indonesia memegang erat fondasi berdirinya negara, Dasar Negara RI, Pancasila: bertakwa kepada Tuhan, menghargai perbedaan, bersatu dalam keadilan dan kebenaran, dan menjadi Indonesia yang bermasyarakat madani. Sesungguhnya, Indonesia mampu memegang Undang-Undang Dasar 1945 jika mental utama telah direvolusikan. Indonesia pun sanggup memperbaharui perundang-undangan sesuai dengan keadaan masyarakat, hanya jika masyarakat ikut sanggup menghargai satu sama lain menjadi satu kesatuan. 

Jadi, dapat disimpulkan dan dapat diharapkan bahwa Republik Indonesia sesungguhnya mampu merangkul kedamaian apabila revolusi mental mulai dilaksanakan secara optimal. Tentunya revolusi mental tidak memerlukan wacana, namun perlu niat yang berawal  dari masing-masing pribadi, bukan sekadar kewajiban, bukan sekadar gengsi, namun "KITA BEREVOLUSI KARENA TOLERANSI HARGA MATI!". Begitulah indahnya negeri kita, Indonesia, yang penuh kedamaian.

Sekarang mudah saja, seperti apakah rupa Indonesia yang kita inginkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline