Lihat ke Halaman Asli

Pascal Caboet

Mencoba Menulis

Kemiskinan Inovasi

Diperbarui: 13 Maret 2020   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar dua hari lali, sebuah postingan whatsapp teman secara kebetulan terbaca ketika saya sedang scroll-scroll. Sekilas postingan itu bernada mengeluh, tapi teman saya mencoba bijak. Pikir saya, hebat sekali. Bisa mengeluh tapi bijak. Seharusnya, mengeluh itu mengeluh saja, bijaknya nanti sehabis keluhan itu selesai. 

Pada postingan itu, teman saya juga menambahi sebuah foto antrian di kantor disdukcapil kabupaten klaten. Kira-kira captionnya tertulis seperti ini : "Saya tidak akan mempertanyakan keterbatasan blangko (blangko E-KTP), tapi saya mempertanyakan soal cara pemerintah dalam melayani masyarakat. Seperti "miskin inovasi" pada jaman yang sudah serba teknologi". Sekilas membaca singkat, saya langsung mengamini postingan itu. 

Hmmm, apa gara-gara proyek E-KTP yang dikorupsi setyo novanto waktu itu berimbas sampai hari ini dan esok nanti. Lebih tepatnya, merugikan teman saya yang harus jauh-jauh dari semarang hanya untuk antri dan tidak kebagian blanko lantaran habis. 

Wasting time bro! Mending glundang-glundung di kamar sambil stalking dan scroll medsos. 

Padahal dunia sedang berbicara soal AI (Artificial Intelegent) pada kaitannya mengefektifkan peran kerja manusia yang akan digantikan sistem ataupun robot. Tapi, di Klaten saya yang tercinta ini masih saja berkutat pada urusan sepele, yaitu soal E-KTP, dan itu pun lemotnya minta ampun. Kalau dianalogikan dalam jaringan frekuensi radio masih AM lah.

 Sehingga, menjadi wajar bila teman saya, dan saat ini adalah saya, meragukan kehadiran peran pemerintah. Sebenarnya, pemerintah benar-benar hadir ngga sih? Pikir saya setelah membaca postingan itu. Loh, yang penting saya kan jadi PNS. Urusanmu mau antri, dan "miskin inovasi" bukan urusan seorang PNS dong ya........... 

Alamak. Saya membangkang sepertinya, dan akan selalu dianggap negatif thingking melulu sama pemerintah. Padahal, saya hanya mencoba skeptis untuk menjadi percaya. Hah! Bodo amat. Amad tetangga saya tidak bodo-bodo amat kok.

Hari ini, lain seorang teman saya mengajak ke kantor disducapil Klaten. Wah, dia ternyata juga terpelosok dalam zona antrian miskin inovasi itu to? Bisa ya? Kata teman saya tadi bahwa hari ini tidak akan mengantri lagi. Hari ini tinggal ambil. Tapi, setelah menempuh perjalanan menggunakan motor supra ijo saya, ternyata teman saya tidak mendapatkan blanko lagi. Kata petugas disdukcapil, blankonya habis. 

Hmm, saya kok malah jadi ikut-ikutan terjelembab dalam kubangan kemiskinan inovasi kaya gini sih? Hak des!

Apakah benar, kemiskinan inovasi seperti yang disinggung oleh teman saya lewat postingan whatsappnya itu adalah hasil dari keluruhan nilai-nilai local genius kita? Atau justru, ini soal iklim pendidikan kita selama ini yang justru mencerabut anak dari ruang lingkup sosialnya? Dipaksa menjadi soliter ? Diukur dari klasifikasi rangking berbungkus kompetisi? Metndasku,bro-bro!

Loh, menjadi murid kan yang penting kalau udah nurut sama perintah dari seorang guru kan otomatis nilainya bagus. Beuh, apalagi kalau teksbook atau mandep mantep. Ditambah lagi ngga berani mbantah argumentasinya guru. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline