Lihat ke Halaman Asli

Bahasa dan Pengetahuan Lokal, Antara Abadi atau Mati

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kremun, Tlethik, Gremis, Udan, Prahara. Ada yang tahu arti kata-kata tersebut? Kata-kata tersebut merupakan istilah dari bahasa Jawa. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, 3 kata terakhir jelas ada padanannya, sementara dua kata pertama? Sejauh ini saya belum menemukannya. Ini hanya satu kasus keunikan bahasa. Tidak semua kata atau istilah dalam suatu bahasa memiliki padanan dalam bahasa lain. Maka dari itu dikenal istilah kata serapan, kata yang diserap dari bahasa lain. Saya tidak akan membahas kata serapan. Saya akan membahas tentang bahasa dan pengetahuan lokal. 5 kata tadi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: prahara = badai, udan = hujan, gremis = gerimis. Dalam pengetahuan kita, badai dan gerimis termasuk hujan, begitu pula dalam pengetahuan orang Jawa. Namun, tidak sampai di situ, dalam pengetahuan orang Jawa, gerimis masih dibagi lagi, itulah kremun dan tlethik. Kremun adalah gerimis dengan butiran air sangat kecil seperti embun, tapi bukan embun. Sementara tlethik adalah gerimis dengan butiran besar-besar namun jatuhnya jarang-jarang, biasanya terjadi sebelum hujan lebat. Beda lagi dengan lesus, yaitu hujan yang disertai angin kencang berputar-putar. Inilah yang saya maksud pengetahuan lokal, secara khusus, pengetahuan lokal masyarakat Jawa tentang hujan. Pengetahuan yang istilah-istilah lengkapnya hanya ada dalam bahasa tertentu. [caption id="attachment_100228" align="alignright" width="300" caption="Kalender Hari Baik Turun ke Sawah dalam tradisi Bugis merupakan salah satu pengetahuan lokal masyarakat Bugis mengenai bercocok tanam. Kelender beraksara Lontara ini saya foto dari Museum La Galigo, Makassar."][/caption] Di sisi lain bumi, masyarakat Jepang juga memiliki pengetahuan lokal sendiri. Sebut saja gelombang laut yang ganas yang menerjang wilayah pelabuhan. Orang Jepang menyebutnya dengan istilah tsunami, pengetahuan lokal masyarakat Jepang yang kini telah mendunia. Ini hanya contoh kecil yang saya ketahui. Sebenarnya masih melimpah ruah contoh lain terutama dari 700-an bahasa daerah di Nusantara. Dalam artikel wawancara dengan K. David Harrison, seorang pakar linguistika dari Universitas Yale menegaskan, "only some cultures erect grand built monuments by which we can remember their achievements, but all cultures encode their genius in their languages, stories, and lexicons." Hanya sebagian kecil kebudayaan di dunia ini yang mengabadikan pencapaian mereka dengan prasasti, monumen, dan banguan-banguan lain. Namun, semua kebudayaan di dunia menyimpan pemikiran-pemikiran jenius mereka dalam bahasa, cerita, dan leksikon. Intinya, hanya sebagian kecil saja kebudayaan di dunia yang mengungkapkan pengetahuan-pengetahuan mereka melalui suatu sistem tulisan (aksara), sementara lainnya hanya menggunakan tradisi oral untuk mengungkapkan pengetahuan mereka. Di Nusantara ini, kebudayaan yang memiliki sistem tulisan sendiri bisa dihitung dengan jari: Batak, Kerinci, Rejang, Lampung, Sunda, Jawa, Bali, Bima, Ende, Bugis, Makassar, Minahasa. Itu baru yang saya ketahui. Sementara sebagian besar sisanya hanya mengandalkan tradisi oral. Prof. K. David Harrison juga menegaskan bahwa kepunahan suatu bahasa berarti terkikisnya dasar pengetahuan manusia, hilangnya pemikiran-pemikiran manusia yang hanya diungkapkan melalui bahasa tersebut. Jika Indonesia ini memiliki 700-an bahasa daerah, bisa dibayangkan betapa masih banyaknya pengetahuan yang tercecer di negeri ini yang belum terungkap untuk kita. Dari data yang saya dapat, terdapat sekitar 282 bahasa di Nusantara yang terancam punah. Jika tidak ada upaya kita untuk melestarikan, itu berarti kita bersiap-siap kehilangan bahasa sekaligus pengetahuan lokal Nusantara yang bahkan belum terungkap untuk kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline