Lihat ke Halaman Asli

Sehelai Uban

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cermin di depanku hampir lima menit kuteliti. “Hmmm….,” gumamku,” Uban pertamaku di awal usia tigapuluh sembilan.” Bagiku bukan uban yang membikin suasana hari ini suram. Tapi, entahlah !

Kuselesaikan kegiatanku sesaat setelah sudut mataku menangkap sesungging senyuman yang terlempar dari bibir isteriku. Saat melintasiku menuju ke dapur.

***

Isteriku berbisik kepada kedua anakku. Yang sedang bermain monopoli di seberang meja. Di atas lantai ruang tengah. Sejenak kemudian kulihat kedua anakku bergegas berdiri dan segera menghampiriku dengan wajah kegirangan.

“Awas rokok !” bentakku sembari menyingkirkan lengan kiriku yang terselip sebatang rokok di antara jariku. Kedua jagoanku tak menghiraukan, mereka saling berebut mengacak-acak rambutku.

***

Sehelai uban yang aku cabut semenit lalu kuletakkan di atas preparat. Aku penasaran, ingin tahu ada apa gerangan yang terjadi pada rambut hitamku. Setelah kupotong melintang dengan ukuran ketebalan 100 mikron, aku perhatikan ubanku di bawah mikroskop. Sekedar ikuti rasa di hati.

***

Isteriku hanya tersenyum mendengar penjelasanku, tentang perbedaan antara rambut hitam dan sehelai uban hasil riset kecilku di laboratorium. Tak ada perdebatan seperti biasanya. Hanya dekapan erat yang aku dapatkan.

Gunungkidul, 25 Januari 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline