Lihat ke Halaman Asli

(Untukmu Ibu) Adek Sayang Bunda

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Byatie tjoa (no.132)

Desember telah tiba, tanpa terasa satu tahun sudah aku pergi. Memilih melanjutkan pendidikan jauh dari rumah. Berpisah dengan Ayah, Bunda dan keempat kakak-kakakku.

Apa kabarnya ya kalian semua?

Menjadi anak bungsu dari lima bersaudara dan memiliki usia jauh dari kakak-kakak, membuatku merasa berbeda. Semua memperlakukan aku sebagai anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Kebiasaan menjadi ‘pesuruh’ seringkali aku lakukan.

“Dek, ambilin remote dong!”

“Dek, ke warung gih, beli kecap buat Bunda masak.”

“Dek, kok sampah belum dibuang?”

Saat itu ingin sekali rasanya aku menolak permintaan mereka sambil berteriak, “Namaku bukan Adek, tapi Magda!” tetapi tidak mungkin, enam lawan satu. Tanpa bertarung, aku sudah kalah total.

Pandanganku teralihkan ke sebuah bingkai foto yang sengaja aku letakan di meja belajarku. Foto ketika kami sekeluarga bersama-sama menikmati masa liburan. Aku menatap satu persatu wajah setiap kakak-kakak cantikku.

Kak Mila,ia adalah kakak pertamaku. Usia kami terpaut 15 tahun. Di rumah, ia yang paling jutek, suka marah-marah. Semua hal bisa dijadikan pelampiasan, apalagi kalau Ayah mulai bicara tentang pernikahan.

Kak Maya, kakak keduaku. Ia kebalikan dari Kak Mila, setiap malam minggu laki-laki yang datang menjemput selalu berbeda. Pada akhirnya ia memilih harus melangkahi kak Mila menikah terlebih dahulu. Kini ia sudah memiliki seorang putra.

Kak Mira, kakak ketigaku. Ia paling suka masak. Aku yang selalu kebagian mencicipi dan menjadi ‘tukang’ mencari pelanggan, berkeliling kompleks. Kini ia juga sudah menikah, dan menerima katering di rumahnya.

Kak Merri, kakak keempatku. Usia kami berbeda 10 tahun. Ia yang paling sibuk bekerja, hampir tidak pernah ada di rumah. Entah apa yang ia kerjakan, tetapi ia yang paling baik. Setiap minggu aku pasti dikasih uang saku, banyak hadiah yang aku peroleh darinya. Kini ia sudah menikah dan menetap di Batam.

Pandanganku beralih pada Ayah. “Aaah senyumnya,” gumamku. Bagiku Ayah yang paling top. Bukan hanya karena ia paling tampan di rumah, tetapi keramahan dan ketabahannya menjadi minoritas selalu aku hargai. Ayah selalu menerima dan tidak banyak mengeluh. Aku tidak pernah lupa kebiasaan Ayah menyalakan musik di pagi hari. Lagu-lagu tempo dulunya begitu aku rindukan, Suzanna oh suzanna, kurindu padamu. Menemani Ayah ke bengkel, memancing dan mencuci mobil bersama menjadi kebiasaan kami setiap minggunya.

Bunda. Lama aku menatap wajah Bunda.

Lihat, bahkan saat liburan pun ia tidak mau tersenyum.

Yaa, begitulah Bunda. Terus terang bagiku Bunda tidak baik apalagi istimewa. Bunda sama seperti kak Mila, setiap hari kerjanya marah-marah terus.

Aku tahu menjadi ibu yang memiliki lima anak perempuan dengan berbagai karakter pasti berat buat Bunda. Aku tahu betapa sibuknya Bunda mengurusi kami semua setiap harinya. Aku juga tahu bagaimana Bunda selalu memikirkan yang terbaik buat masa depan kami. Tetapi tetap saja bagiku Bunda sangat berlebihan. Aku tidak pernah meminta banyak, aku hanya mau Bunda sekali saja tersenyum dan memberi pujian kepadaku.

Untuk mendapatkannya aku selalu berusaha mematuhi semua perintah-perintahnya. Mulai dari gaya berpakaian, model rambut, cara bicara, sampai memilih sekolah dan jurusan, semua aku serahkan dan diatur oleh Bunda. Begitu juga dengan teman-teman, Bunda yang pilihkan. Aku harus begini, harus begitu, semua dilarang, tetapi tetap saja Bunda tidak pernah tersenyum, apalagi bangga padaku. Aku pernah mencoba untuk protes, tidak melakukan perintahnya karena kesal. Tahu apa yang terjadi? omelannya sehari-semalaman, membuat semua kakak-kakakku ikutan memojokkan. Akhirnya aku kembali harus mengalah.

Aku menutup cepat kedua mataku. Hatiku selalu tidak nyaman bila melihat Bunda. Kenapa Bunda? Seandainya Bunda bersikap baik seperti Kak Merri, atau sedikit saja seperti Ayah. Aku tidak akan pergi jauh. Aku pasti akan tetap ada di rumah. Aku tidak akan berusaha mendapatkan beasiswa ini.

Aku benci Bunda, benar-benar membencinya!

Tanpa sadar air mata mengalir di kedua pipiku. Wajah Bunda terus ada di mataku, tidak mau hilang.

Tiba-tiba terbayang peristiwa ketika usiaku 12 tahun. Saat itu Bunda mengharuskanku belajar piano. Bunda yang mengantar-jemput aku ke tempat kursus. Suatu kali, tanpa pemberitahuan guru pengajar tidak bisa hadir karena sakit, sedangkan aku sudah diantar dan ditinggal Bunda. Aku tidak hafal telepon rumah. Selama menunggu, tiba-tiba teman yang sama-sama kursus mengajakku pulang bersama, karena tujuan kami berdekatan, aku mengiyakan dan ikut bersamanya. Baru saja kami hendak berpisah jalan, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Mau tidak mau aku menunggu hingga hujan berhenti di rumah temanku. Hari sudah gelap saat aku meminta ijin untuk pulang. Aku berjalan kaki menuju rumah. Saat itu terus terang tidak ada rasa takut atau khawatir sama sekali. Aku berjalan santai saja, sampai ada beberapa anak menyapaku dan mengatakan sesuatu yang aku tidak fahami. Tidak berapa jauh, ada anak lain lagi yang menyapaku, sampai beberapa meter dari rumah aku melihat gerbang pagarku terbuka. Jantungku berdegup keras saat itu, takut. Dengan perlahan aku masuk, kakak-kakakku semua berkumpul di halaman depan. Satu persatu memegang kepalaku. Ayah memegang pundakku dan mendorongku masuk ke ruang tamu. Betapa terkejutnya aku melihat banyak ibu-ibu tetangga berkumpul, mereka mengusap dan memeluk Bunda. Begitu melihatku, Bunda menghapus airmatanya dan berjalan mendekat padaku. Bunda memukulku berulangkali, sambil terus menangis.

Itulah pertama kalinya aku melihat Bunda menangis. Aku ingat sekarang, sejak saat itu wajah Bunda selalu tegang dan tidak pernah melepas tanganku.

Aaah apa yang sudah aku lakukan…

Aku membuka mata dan menatap tanganku. Tangan yang tidak pernah ingin Bunda lepaskan. Bunda mengasihiku, bahkan lebih dari itu Bunda ingin melindungiku. Ayah dan semua kakak terbiasa memanjakanku, membuat Bunda semakin keras mendidikku. Bunda pasti takut aku terjerumus pada hal-hal yang buruk di luar sana.

Air mata kini membasahi tanganku. “Maafkan aku Bunda, maafkan aku.” Aku terlalu meminta banyak, padahal Bunda selalu memberikan yang terbaik buatku. Pantas setahun ini aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Bukan hanya kecerian Ayah dan kakak-kakak tetapi juga kehadiran Bunda.

Kini tidak ada lagi Bunda yang cerewet membangunkanku di pagi hari, tidak ada lagi yang menyiapkan sarapan dan bekal makan siang buatku, tidak ada yang memarahiku bila aku salah, tidak ada yang menasehatiku dan menemaniku bicara. Semuanya terasa sunyi saat ini.

Terutama di bulan Desember, yang merupakan bulan yang spesial buat keluarga kami. Biasanya di awal bulan, Bunda sudah sibuk. Mulai dari membersihkan seluruh rumah dan menghiasnya dengan ornamen natal. Menata pohon natal dan menyiapkan kado-kado buat kami semua.

Lalu menjelang hari ibu, Bunda selalu membuat onde-onde yang berwarna-warni. Biasanya aku membantu menyiapkan. Mencampur tepung ketan dengan sedikit air ditambah pewarna makanan, lalu dipulung menjadi bulatan-bulatan kecil dan merebusnya, dan disajikan dengan air gula beraroma pandan. Terkadangbila aku iseng, aku akan mencolek tepung ke wajah Bunda, alhasil Bunda pasti marah besar. Bunda akan memukul tanganku dan mengusirku keluar dapur, sedangkan aku hanya tertawa-tawa dan kembali membantu Bunda.

Menjelang malam tahun Baru, Bunda pasti membuat masakan istimewanya, yaitu daging tim sayur asin. Masakan yang hanya Bunda buat di malam tahun baru. Tepat jam 12 malam, Ayah pasti menyalakan kembang api. Ayah baru berhenti bermain kalau Bunda sudah mulai marah-marah.

Tanpa sadar senyum di wajahku mengembang.

“Bunda aku ingin pulang.” Aku ingin memeluk Bunda, ingin mendengar omelan Bunda, tangan ini ingin Bunda genggam lagi, aku mau membantu Bunda membersihkan rumah, menghias pohon natal, membuat onde-onde, terlebih aku ingin makan masakan khas Bunda.

Tetapi.., apakah Bunda mau menerimaku kembali? detak jantungku mulai berdegup kencang, tanganku bergetar. Dengan perlahan aku mengambil ponsel dan mulai menekan tombol angka-angka yang kini sudah kuhafal dengan baik.

“Halo..,” ucapku pelan. “hmm Bunda ya? ini aku,..” ucapku lebih pelan lagi.

Lama aku terdiam. Suara khasnya mulai terdengar. Bunda terus berbicara panjang dan lebar, seperti biasanya. Aku hanya mengangguk-angguk pelan, sesekali menjawab iya-iya-tidak dan iya.

Akhirnya aku menutup sambungan telepon. Menarik dan menghembuskan nafas berulangkali. Menenangkan hati dan jantungku yang terus saja berdegup kencang.

Ternyata tidak ada yang berubah, tidak ada. Bunda masih tetap sama. Aku kembali tersenyum, bahkan tertawa kecil.

“Tunggu aku Bunda, Adek akan pulang dan memeluk erat Bunda. Adek tidak peduli Bunda mau marah-marah atau menyuruhku apa saja. Adek akan menerimanya tanpa syarat apapun.”

Adek sayang Bunda.

***

Nb: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun fiksiana community dengan judul : Inilah hasil karya peserta Event Hari Ibu. Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline