no. 28. oleh Riga Sanjaya dan byatie tjoa.
“Jangan lupa menyebutkan nama anda.”
Galih terdiam, kepalanya berputar ke arah kiri terus ke kanan, memindai wajah-wajah yang ikut dalam pertemuan ini. Di sebelah kanannya, dua kursi dari ia duduk, matanya terpaku. Seseorang tengah menatapnya. Ketika Galih memergoki, gegas dia menarik hoodie jaketnya kian menutupi wajah. Siapa sih dia?
“Silakan, semua menunggu.”
Galih menghela nafas panjang sebelum akhirnya ia membuka mulutnya. “Hmm.. nama gue Galih.Gue ke sini karena...” Semua mata menatap Galih tanpa berkedip. Mencurahkan perhatian penuh,kecuali orangberjaket hoodie itu, dia menunduk semakin dalam.“... karena... mantan gue.” ucap Galih pelan. “Hmm gue merasa nggak bisa lepas dari nih cewek, padahal kami udah putus tiga bulan yang lalu. Gue sudah berusaha menghindar, tapi yaa gitu deh, tiap tuh cewek telepon, gue nggak bisa berkutik, pasti mau aja dengerin semua ucapannya.” Galih berhenti dan menarik nafasnya lagi. Ruangan masih tetap hening. Semua menanti dengan sabar ucapan Galih berikutnya.
“Sudah?”
“Belum,”sahut Galih, ia mulai bersemangat. “Yang gue heran, kenapa gue bisa dengan entengnya menerima apapun permintaan tuh cewek. Gue udah coba berbagai cara buat ngejauhin dia, mulai dari dapetin pacar baru, ganti nomor telepon, pindah tempat kost, tetapi tetap aja dia bisa nemuin gue di kampus.” Galih mengusap peluh di keningnya. “Dan yang lebih parah lagi, mantan gue sekarang ini udah mulai temenan sama pacar gue. Coba, bagaimana harus ngadepin keduanya?”
“Sudah?”
“Belum!” suara Galih mulai meninggi, jantungnya berdetak kencang sekali. Masih ada sedikit ganjalan di dadanya.
“Waktu andatersisa dua menit lagi.”
“Oke,” Galih melirik jam di tangan kanannya. “Kadang gue ngerasa kalau mantan gue itu udah ngeguna-gunain gue.”Galih bisa mendengar napas-napas yang dihela karena terperanjat. Tapi diantara semua suara itu ada suara tawa kecil terdengar. Sekilas mata Galih menangkap gerakan samar orang berjaket hoodie menutup mulutnya.
“Maaf Galih waktu anda sudah habis. Oke teman-teman, kita akan bertemu kembali minggu depan, dan jangan lupa buat review serta solusi untuk masalah Galih. Salam semangat!”
“Salam semangat!” ucap Galih bersamaan dengan seluruh peserta, sambil mengepalkan jemarinya. Satu-persatu peserta meninggalkan ruang pertemuan.
Hati Galih terasa lebih ringan. Dia bangkit dari kursi dan menuju pintu keluar. Ketika dia telah melewati ambang pintu, seseorang yang sejak tadi bersandar di dinding menjajari langkahnya.
“Hai,” dia menyapa Galih dengan suara yang sedikit serak. Hoodie-nya tetap menutupi sebagian besar wajahnya. Galih sedikit terkejut mendapati seseorang menegurnya. Dia mencoba tetap tenang dan balik menyapa.“Hai juga.”
“Gue udah dengarin semua masalah lo, Galih. Mau dengar saran gue?”
Matanya menyelidiki orang misterius yang menarik perhatiannya sejak dari awal pertemuan tadi. Wajahnya tertutup bayangan hoodie yang ditarik ke bawah. Hanya sebagian cuping hidung bangir dan sebentuk bibir tipis merona merah yang terlihat.
“Menurut gue sih semua ini karena masalah yang ada di dalam diri lo,” orang itu membuka penjelasan.“Yup, lo terlalu lemah sebagai laki-laki. Lo nggak berani bersikap tegas. Kalau memang lo udah mutusin nggak mau ketemu, ya udah jangan ketemu sekalian. Meskipun mantan lo maksa atau nangis-nangis.”Galih tercenung. Benarkah?Apa iya ia seharusnya bersikap demikian.
Orang itu tertawa kecil melihat Galih termenung mendengar kata-katanya. “atau kemungkinan lainnya adalah......” Orang itu menggantung kalimatnya.
“Ya?”
“Mantan lo itu orang yang sangat gigih. Dia harus mendapatkan apa yang dia mau. Dan kebetulan dia punya mantan kayak lo yang mentalnya lemah. Pas deh.”
“Tere?” ucap Galih pelan, ia mendelik tak percaya. Hanya Tere yang mampu berkata seperti itu padanya.
“Yup, ini gue!” Tere melepas hoodie, memperlihatkan seluruh wajahnya. “Lo itu lelaki paling lemah yang gue kenal. Apa-apaan sampe ikut acara beginian, kalau nggak suka gue deketin lagi, bilang aja terus terang! Nggak usah di depan gue nurut tetapi begini dibelakang gue…” Galih terdiam, ia masih tidak percaya dengan penglihatan dan pendengarannya. Bagaimana mungkin Tere mengikutinya hingga ke tempat ini.
“Aaaah.. gue pulang dulu. Udah lo tenang aja, mulai sekarang gue nggak bakal gangguin lo lagi!”
“Jangan pergi..,” ucap Galih lirih di dalam hati. Dadanya semakin terasa sakit, ia tidak menduga Tere benar-benar akan meninggalkannya lagi kali ini. Galih mengutuki pilihannya dulu berpisah dengan Tere. Waktu itu dia begitu emosi karena ucapan Tere yang menyinggung perasaan. Harga dirinya seolah terbanting ke tanah. Tere sudah meminta maaf, bahkan sampai menguraikan air mata, tapi Galih bergeming. Kemudian dia mendekati Risma teman kampusnya dan memacarinya. Meski begitu, sudut batin Galih selalu tak tenang. Ia masih sayang Tere tapi gengsi untuk memintanya kembali,bahkan ketika Tere telah berulangkali memberi sinyal. Ah, Galih sungguh merasa malu pada dirinya sendiri.
***
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun fiksiana community dengan judul : Inilah hasil karya pesertaEvent Fiksi Valentine. Silakan bergabung di FB Fiksiana Comunity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H