Memang nama Tri Rismaharini mulai menggaung belakangan ini. Aku hanya tau dia walikota dengan segenap prestasi, desas desus kontroversialnya, jadi topic baik di media ataupun obrolan saat ngopi, hingga hari ini saat aku membuka newsfeed facebook, salah satu teman men-share video wawancara Risma di Mata Najwa, salah satu program stasiun televisi swasta yang selalu menguliti tokoh publik dengan kritis. Tapi tidak dalam episode ini.
Dalam episode yang hampir berdurasi satu jam tersebut, Risma, yang baru belakangan ini di sorot media, mulai buka-bukaan. Sosoknya terlihat tulus, religius, rendah hati, pekerja keras, tegas dan bertanggung jawab sebagaimana Ibu yang mengurus anak-anaknya. Dia menceritakan segala permasalahan yang ada di Kota Surabaya.
[caption id="attachment_295916" align="alignnone" width="680" caption="Tampak Risma tak kuat menahan tangis saat bercerita"][/caption] Hampir sama seperti Jokowi, dia bergaya blusukan, bedanya tidak semua kegiatannya diliput dan diangkat oleh media massa dengan maksud pencitraan. Terlihat dia tidak butuh citra guna mengangkat dirinya dalam kekuasaan yang lebih tinggi. Bahkan dia ingin mundur dari jabatannya sebagai walikota karena merasa tidak mampu bertanggung jawab atas nasib warganya. Padahal, kurang lebih sudah 51 penghargaan yang diraih dalam waktu tiga setengah tahun.
Sang Ibu dan PSK
Saat Risma menceritakan pengalaman blusukan-nya, satu persatu masyarakat di datangi, dan ditanya mengenai persoalan kehidupannya, sampai akhirnya Risma menangis saat bercerita terkait proses penutupan kawasan lokalisasi Dolly, yang terkenal di Surabaya. Dia menemukan anak-anak yang masih sekolah menengah yang sudah menjadi pekerja seks demi tuntutan ekonomi keluarga.
Tidak hanya itu, dia bercerita mengenai seorang pekerja seks yang sudah berusia 60 tahun dan masih aktif. OMG!! Siapa pelanggannya, siapa pula yang mau dengan PSK berumur segitu, pikirku. Melanjutkan ceritanya Risma mengajukan pertanyaan yang sama kepada si PSK, yang ternyata pelanggannya adalah anak-anak berumur belia, masih duduk di bangku SD dan SMP. Air mata pun tumpah, Risma yang berkarakter tegas, kuat, melemah saat bercerita pengalamannya.
Satu hal yang membuatku terharu yaitu tentang keberaniannya saat menghadapi berbagai kendala, tekanan, hingga ancaman dari pihak-pihak yang kontra dengan kebijakannya, maklum saja, bisnis prostitusi tentunya sudah mendarah daging di sejumlah kawasan di Surabaya. Risma pasang badan soal itu, proses panjang telah membentuk keputusan dan keberaniannya, hingga dia meminta agar keluarganya mengikhlaskan hidupnya jika suatu saat dia tiada (baca: dibunuh) dalam menyelesaikan konflik tersebut. Sungguh, tidak mudah menjadi Risma.
Najwa tampak berhati-hati saat mengajukan pertanyaan, tidak seperti biasanya yang kerap menyindir, ketus kritis dan sebagainya. Masih banyak yang dikupas namun kadang tak tuntas karena tangis Risma yang berujung break acara tersebut. Aku sangat tersentuh mendengar kisah-kisahnya.
Kisah selengkapnya dapat disaksikan melalui link dibawah ini.
https://www.youtube.com/watch?v=NXPP4yW9PJE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H