Keputusan Komisi II DPR RI, Kemendagri, Bawaslu, KPU, dan DKPP untuk melaksanakan pelantikan serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terpilih di Ibu Kota Negara pada tanggal 6 Februari 2025 terkesan memperlihatkan komitmen terhadap efisiensi dan keserentakan.
Namun, realitanya ternyata berbeda.
Keputusan ini mengabaikan keserentakan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang seharusnya dihitung sejak tanggal pelantikan.
Pilihan untuk melaksanakan pelantikan secara bertahap bagi daerah yang masih bersengketa di MK menghilangkan makna dari serentak itu sendiri.
Kontradiksi dengan UU Pilkada:
Keputusan pelantikan serentak ini juga berkontradiksi dengan UU Pilkada 10 Tahun 2016.
Pasal 164(1) UU Pilkada menetapkan bahwa pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Gubernur di ibu kota provinsi yang bersangkutan.
Sementara itu, Pasal 164A(1) menegaskan bahwa pelantikan tersebut harus dilaksanakan secara serentak.
Dampak Terhadap Efisiensi dan Keadilan:
Keputusan yang kontradiktif ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam menjalankan tugas kepala daerah yang baru dilantik.
Selain itu, keputusan ini juga dapat menimbulkan ketidakadilan bagi daerah yang bersengketa di MK, karena mereka akan menjalani masa jabatan yang lebih singkat dibandingkan dengan daerah lain.