Lihat ke Halaman Asli

Buyung Okita

Spesialis Nasi Goreng Babat

Membeli Sesuatu di Masa Pandemi Jangan dengan Emosi

Diperbarui: 28 September 2020   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan suatu pusat perbelanjaan|Dok https://cdn2.tstatic.net/travel

Beberapa waktu ini kita sering menyaksikan munculnya artikel atau pembahasan mengenai ancaman badai resesi ekonomi yang akan menerpa Indonesia. Bahkan ada pakar yang sudah menyatakan secara satire bahwa "pejabat tidak akan resesi, tetapi rakyat sudah mengalami resesi". 

Di masa sulit ini kita diwajibkan untuk sangat berhati-hati dengan finansial. Meskipun di satu sisi dampak sangat berhati-hati mengalokasikan finansial tersebut berdampak pada daya beli yang semakin turun. 

Tidak hanya terhadap barang yang bersifat sekunder dan tersier, membelanjakan uang kita untuk sesuatu barang yang bersifat primer pun menjadi perhatian kita. Karena seringkali kita membeli sesuatu berdasarkan emosional kita, bukan dikarenakan unsur kebutuhan akan barang tersebut. 

Saat ini kita tidak hanya dianggap sebagai komunitas masyarakat saja,  tetapi tragisnya juga sebagai sebuah "pasar/market". Berbagai produsen barang dan jasa mempromosikan produknya kepada kita. Terlebih dengan adanya smartphone mempermudah komunikasi promosi sampai kepada layar genggam kita. Belanja Secara Online juga menjadi suatu kemudahan dan menjadi trending di masa pandemi ini.

Dengan mudahnya kita mengakses metode berbelanja, mudahnya terpapar oleh iklan, dan dihadapkan kepada banyaknya pilihan yang tiada habisnya lalu bagaimana kita menentukan keputusan akan barang apa yang sebaiknya dibeli ? Apa yang dapat mempengaruhi seseorang untuk memilih satu merek atau suatu barang - meskipun keduanya memiliki fungsi dasar yang sama ?

Jawabannya sangat sederhana, yaitu dikarenakan faktor emosional.

Kebanyakan orang membeli sesuatu dikarenakan faktor emosional terhadap suatu barang tersebut, entah karena sejarah produk atau merek tersebut, kemasan atau faktor nilai-nilai yang ditanamkan-dikomunikasikan-ditawarkan kepada kita melalui komunikasi yang disebut promosi dan iklan. Melalui promosi dan iklan tersebut suatu produsen menanamkan kesadaran akan suatu merek atau produk kepada kita. 

Sebagai contoh sebuah sepatu merupakan kebutuhan yang kita butuhkan. Tetapi jika kita bayangkan lebih lanjut akan muncul suatu cerita yang menarik.  Dari kita ada yang lebih memilih sepatu merek lokal dikarenakan mencintai produk-produk dalam negeri, dari kita juga ada yang lebih memilih produk Jerman dikarenakan produknya terkenal dan banyak dipakai oleh banyak atlit internasional. 

Atau jam tangan, sebagian dari kita membeli jam seharga 3 juta dan sebagian lagi membeli jam tangan cukup dengan harga 500 ribu. Padahal jam tersebut diproduksi oleh satu merek yang sama dan memiliki fitur fungsi yang sama pula. Yang membeli jam tangan diatas 3 juta mungkin berpendapat bahwa menggunakan jam premium dapat meningkatkan daya estetis penampilan dan pribadinya, sedangkan seseorang yang membeli jam seharga 500 ribu sudah merasa cukup karena sudah mendapatkan fitur jam tangan yang komplit digunakan sehari-hari dan awet.

Meskipun kita juga membeli sesuatu barang dengan bijaksana. Membeli sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita butuhkan dan sesuai untuk solusi masalah yang kita alami. Tetapi tanpa disadari kita seringkali terjebak membeli sesuatu berdasarkan emosi kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline