Jepang terkenal dengan etos bekerjanya yang tinggi dan bahkan rela bekerja lembur tanpa dibayar. Orang jepang juga dikenal setia terhadap tempatnya bekerja, dan hampir tidak berpindah tempat kerja atau berganti profesi. Meskipun pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya dan berganti profesi tetap dapat ditemui di Jepang.
Japanese Statistics Bureau dalam laporannya mengumumkan bahwa dewasa ini ratio tingkat untuk berpindah tempat kerja dan berganti preofesi masyarakat Jepang meningkat. Dengan ratio orang yang berusia 20-34 memiliki trending yang lebih tinggi daripada rentang usia 35-60 untuk berganti profesi dan pindah tempat kerja.
Alasan yang sering kali menjadi dasar untuk berpindah kerja diantaranya adalah ingin meningkatkan pengalaman dan kemampuan diri, jenjang karir yang lebih baik,tempat kerja yang lebih baik dan gaji yang lebih kompetitif. Berbeda dengan orang Jepang, orang Jepang cenderung memutuskan untuk berganti profesi dan berpindah tempat kerja dikarenakan unsur keluarga, dan kekhawatiran akan kondisi perusahaan. Meskipun sangat jarang ditemui, turun posisi dalam menempati suatu jabatan menjadi salah satu alasan.
Kenapa orang Jepang enggan berpindah kerja di tempat lain adalah karena sistim status "karyawan tetap" yang diadopsi oleh perusahaan. Perusahaan memberikan gaji lebih dikarenakan loyalitas pegawai terhadap perusahaan, berdasarkan senioritas. Bertahan lama bersama dengan stau perusahaan memberikan hak karyawan untuk mendapatkan gaji yang lebih besar, hari cuti yang lebih banyak dan berbagai keuntungan lain.
Karena itu berganti profesi dan pindah tempat kerja merupakan hal yang jarang ditemui pada orang Jepang. Kemudian, adanya stigma bahwa seseorang yang sering berpindah-pindah kerja merupakan seseorang yang tidak loyal dan memiliki maslaah dengan perusahaan yang sebelumnya.
Terlepas dari itu, akan menarik jika kita melihatnya dari sisi budaya yang telah mengakar, yang menjadikan orang Jepang memiliki budaya kerja yang seperti itu. Budaya seperti itu sudah terbentuk 260 tahun lebih ketika zaman era keshogunan Tokugawa di Zaman Edo. Jepang memiliki kelas sosial yang sangat ketat pada era keshogunan Tokugawa atau era Edo. Kelas sosial itu adalah Aristokrasi yang terdiri dari Kaisar, keluarga dan keturuannya, Shogun selaku kepala pemerintahan dan tuan tanah yang disebut dengan Daimyo.
Sedangkan kelas sosial masyarakat umum dibagi menjadi empat yaitu Samurai sebagai yang tertinggi, petani, pengrajin dan pedagang. Struktur masyarakat seperti itu diperketat dan diperjelas karena pemerintahan Tokugawa menginginkan kestabilan secara politik, sosial dan ekonomi.
Masyarakat pada era feodal merupakan masyarakat komunitas yang hidup dalam satu wilayah tuan tanah yang disebut Daimyo. Daimyo merupakan seorang bangsawan dan seorang Samurai dengan pangkat tinggi yang biasanya memiliki garis keturunan dari keluarga kaisar atau garis keturunan bangsawan yang lain yang sudah ada. Daimyo juga memiliki Samurai yang bekerja untuk melayaninya.
Samurai secara turun temurun bekerja dan melayani keluarga bangsawan dan Daimyo sebagai tentara, polisi, birokrat, administrator dll. Seorang Samurai tidak dapat berpindah loyalitas dan malanggar sumpah dan pergi untuk melayani keluarga bangsawan lain di daerah yang berbeda. Karena seorang Samurai haruslah setia terhadap satu keluarga bangsawan saja.
Begitu pula dengan kelas sosial lain seperti petani, pedagang dan pengrajin tidak dapat berpindah tempat tinggal dengan mudah. Karena daerah lain merupakan daerah yang dimiliki oleh tuan tanah yang berbeda dan hampir tidak mungkin untuk pindah tempat tinggal. Bahkan rakyat diluar kelas 'Samurai' juga diwajibkan ikut berperang ketika sang tuan tanah memerintahkan untuk mengangkat senjata.