Lihat ke Halaman Asli

Buyung Okita

Spesialis Nasi Goreng Babat

Malcolm X Membongkar Metafora Moralitas

Diperbarui: 10 Juli 2020   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://i.ytimg.com

Dalam karya Othello William Shakespeare, termanifestasi metafora tentang hitam dan putih. Yang menggambarkan bahwa hitam tidak selalu berasosiasi dengan hal yang buruk dan putih tidak selalu berasosiasi dengan hal yang baik. Shakespeare memberikan tokoh yang bernama Othello, seorang dari bangsa Moors yang berkulit gelap, seorang jendral perang yang pemberani, berkepribadian yang baik dan menjunjung tinggi kehormatan. berbanding terbalik dengan tokoh Iago dari Venesia yang berkulit putih, yang merupakan bawahan Othello di militer yang hanya mengejar ambisi pribadi dan menyebarkan konspirasi dan tragedi. Mengenai artikel yang membahas hal tersebut, anda dapat membacanya pada artikel yang berjudul "Moralitas dan Rasisme dalam 'Othello' (Shakespeare)".

Jika Shakespeare menggambarkan tokoh Othello sebagai kulit putih yang berasal dari Venisia, dan Iago sebagai seseorang berkulit gelap dari bangsa Moors, dewasa ini karya tersebut akan mendapat sorotan karena menjunjung tinggi rasisme. Terlepas apakah Shakspeare menyadari potensi konflik tersebut, dan mencoba meninggalkan isu rasisme atau ingin memberikan sebuah falsafah baru, dapat dipahami bahwa isu masalah etnik dan minoritas tidak terlalu menjadi masalah pada masa itu.

Dan ketika eskalasi sosial antara warna kulit pada dewasa ini menjadi sebauh isu etnis seperti di dunia barat, kemungkinan metafora umum mengenai moralitas yang ada di masyarakat bahwa "hitam berasosiasi dengan buruk, kotor dan tak bermoral" dan "putih berasosiasi dengan baik, bersih dan bermoral" menjadi salah satu pendongkrak dinamika.

Ada kisah menarik dari pergerakan masyarakat berkulit gelap di Amerika pada dekade 5 hingga 60an yang dipimpin oleh Malcolm X. Dapat dilihat dari sebuah film yang berjudul "Malcolm X", Malcolm X bertemu dengan seorang ulama Muslim dan menunjukan bahwa kenapa di kamus diterangkan bahwa warna 'hitam' berasosiasi dengan suatu hal yang negatif.

Di dalam kamus tersebut hitam dipersepsikan dengan hal yang lebih ekstrim bahwa hitam identik dengan "kekotoran, permusuhan, aib dan sebuah kesalahan", sedangkan putih dipersepsikan dengan "bersih, kejujuran, keadilan dan kehormatan". Malcolm menegaskan bahwa persepsi tersebut yang menulisnya adalah masayarakat berkulit putih, dan Ulama tersebut menanggapi definisi persepsi ekstrim dari kamus tersebut dengan dan meresponnya dengan "dibalik sebuah kata ada makna yang tersembunyi".

Ketika Othello karya Shakspeare ditulis, mungkin isu rasisme dan etnis tidak begitu menjadi isu masalah. Walaupun dapat kita pahami terjadi konflik sosial antar bangsa eropa dengan suku gipsi, yahudi dan beberapa bangsa lain. Di masa itu, metafora umum yang ada di masyarakat bahwa "hitam diasosiasikan dengan hal yang buruk" dan "putih diasosiasikan dengan hal yang baik" tidak digunakan untuk mendongkrak eskalasi konflik sosial dan politik, dan juga tidak digunakan untuk mendiskreditkan satu sama lain. Bahkan Shakespeare berani menulis sebuah karya yang sangat unik yang menyatakan, bahwa hitam tidak selalu dipersepsikan dan diasosiasikan dengan hal yang negatif dan putih tidak selalu dipersepsikan dengan hal yang positif. 

Bagaimana kita memahami sesuatu tidak terlepas dengan bagaimana persepsi kita akan sesuatu. Konsep kerja otak dalam manusia pun seperti itu, untuk memahami konsep yang abstrak, manusia cenderung memandang dan memahaminya dengan menggunakan suatu konsep yang lebih konkrit. Untuk memahami konsep abstrak "suatu perilaku dan situasi yang memiliki moral yang baik" memandangnya dengan hal yang lebih konkrit yaitu warna  "putih, bersih, indah".  Untuk memahami konsep abstrak :suatu perilaku yang tak memiliki moral yang baik", kita menggunakan konsep warna "hitam, kotor, buruk". 

Awalnya metafora tersebut digunakan agar lebih memudahkan kita dalam memandang sesuatu dan kemudian menghasilkan produk linguistik atau berbahasa dengan munculnya berbagai ungkapan-ungkapan berbahasa untuk berkomunikasi. sehingga seyogyanya metafora tersebut bersifat netral. Tetapi ketika hal yang netral tersebut digunakan sebagai sebuah alat untuk mendongkrak isu konflik etnis didasari dengan persepsi yang mengarah ke negatif. Metafora tersebut menjadi suatu alat yang hebat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa cara bekerja pikiran kita adalah dengan bermetafora. 

Sebagai penutup, mengutip kembali hadis nabi Muhamad SAW  yang memiliki makna yang sangat dalam. Beliau menyampaikan bahwa " "Semua umat manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Orang Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang non-Arab dan orang non-Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang Arab. Orang kulit putih tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang kulit hitam, atau orang kulit hitam tidak memiliki keunggulan atas orang kulit putih, kecuali dengan kesalehan dan tindakan yang baik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline