Lihat ke Halaman Asli

Tiba-Tiba Saja Aku Menjadi Seorang Paraplegia

Diperbarui: 28 Agustus 2021   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NAMAKU BUTET*

Kehilangan, merupakan suatu kepercayaan luar biasa yang tak pernah
kusangka akan dipercayakan Tuhan padaku. Kehilangan sesuatu yang sangat
berharga, yang membuat hatiku gundah gulana saat itu bahkan hungga
sekarang.

Kehilangan itu membuatku terpisah dengan sesuatu yang pernah
kumiliki sebelumnya, sesuatu yang saat ini bukan lagi menjadi bagian dari
diriku, sesuatu yang menggoreskan luka mendalam ditubuhku bahkan lebih
dalam lagi di hati dan batinku yang tidak jarang mengiris hati dan menyiksaku.
Entahlah apakah kehilangan ini hanya sementara atau Tuhan akan
mengembalikannya kepadaku suatu saat.

Masih segar di ingatanku, sore itu ketika mendung menyelimuti bumi,
aku mengajak anakku Christoper ke tengkulak sawit untuk menjual sedikit
brondol yang kukumpulkan dari pohon sawit di depan rumah. Seperti biasa,
kami tertawa sambil bercanda ria di sepanjang perjalanan.

Selalu saja ada topic

yang bisa membuat kami tertawa riang, yang seolah-olah tak akan pernah
habisnya. Sesampai di tengkulak sawit, kuturunkan brondol sawit untuk
ditimbang oleh si mas pembeli sawit. Sementara si mas menimbang berondol
yang kami bawa, aku sempat bercerita sebentar dengan si mbak yang
merupakan rekan si mas pembeli sawit sementara Christ bersenda gurau
dengan si mas yang menimbang berondol sawit kami.

Setelah semua berondol selesai ditimbang, Christ berseru mengajakku
pulang, "Ayo, Ma!" Dan aku pun segera menyahut, "Iya, Bang." Aku segera
menyudahi ceritaku dengan si mbak dan menuju ke sepeda motor di mana
Christ sudah menunggu.

Christ sudah terlebih dahulu naik ke sepeda motor
matic milikku. Akupun segera naik, mengembalikan posisi standard ke semula
dan menyalakan starter tanpa menyadari tangan putraku tepat berada di stang
gas. Semuanya seolah terjadi begitu saja: kami terjun bebas dari ketinggian 3
meter dengan kecepatan yang tidak bisa kukendalikan.

Aku panik.
Pandanganku gelap. Oh, Tuhan, aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya
bisa pasrah sepasrah-pasrahnya. Dalam pikiranku hanya ada bayangan maut,
kematian yang seakan tidak usah dipertanyakan lagi kepastiannya. Aku dan putraku, Christ terlempar entah berapa meter. Semuanya terjadi hanya dalam
sekejap mata.

Aku tersadar seorang ibu menarik tangan kananku dan terdengar derak
bunyi "krak" dari punggungku. Dengan refleks tangan kiriku memegang kaki
kiriku yang sakit sambil setengah berteriak, "Jangan tolong aku seperti itu, aku
sudah lumpuh. Di mana anakku?"

Ku lihat sekelilingku begitu ramai dan aku
melihat anakku digendong si mas pembeli sawit. Dalam hatiku aku berharap
semoga anakku tidak kenapa-kenapa. Orang semakin banyak berdatangan.
Beberapa orang di antaranya menggotongku ke mobil pick up. Aku dibaringkan
di bak belakang yang terbuka sementara Christ digendong di depan. Sepanjang
jalan menuju Puskesmas aku berteriak histeris kepada Tulang yang
mendampingiku sambil air mataku bercucuran, "Tulang, sudah lumpuh aku.
Sudah lumpuh aku, Tulang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline