Lihat ke Halaman Asli

Suara Hutan Rimba (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sssssssss”

Angin siang itu begitu lembut. Bersama kelembutnya, angin telah menggugurkan ribuan daun kering. Dedaunan yang mulai putus asa. Menyerah untuk tetap bertahan di punggung dahan-dahan pepohonan yang mulai kehilangan kekuatan. Kini daun-daun itu bak tentara yang telah tersungkur pasrah di atas tanah, tak sanggup lagi menciptakan kehijauan. Pohon-pohon kurus tak berdaun. Bahkan banyak pula yang telah ditebang. Rerumputan kering menunggu kematian. Hutan rimba ini memang sudah lama gersang.

Di sebuah batu besar, tak jauh dari bukit kecil di tengah hutan itu, dua ekor kerbau sedang berbincang-bincang, yang satu gemuk dan yang lain agak kurus. Perbincangan mereka terkesan serius. Sesekali kedua kerbau itu mengernyitkan dahinya. Namun, sesekali gelak pecah ditengah bincang-bincang mereka siang itu. Sementara itu, di pinggir batu besar, seekor semut sedang menggigit mangsanya, seekor ulat kecil berwarna hijau muda, entah apa namanya. Semut yang sedang menyantap makan siangnya, tak sedikitpun ikut dalam perbincangan kedua kerbau tadi. Entah karena tak mengerti, tak mendengar atau memang tak peduli sama sekali. Ya, mungkin makanan yang berada di depannya membuat Si Semut tak acuh.

“Hufh!,” Si Kerbau Kurus menghela nafas, ”kalau kupikir-pikir, kasihan sekali aku melihat hutan kita ini. Lihatlah pohon besar itu, dulu amatlah rindang, kini tinggal tunggulnya saja,” wajah Si Kerbau Kurus mulai memelas.

“Iya,” Si Kerbau Gemuk mengangguk, ”lihatlah bangunan megah di ujung sana,” kata Si Kerbau Gemuk melanjutkan sembari melihat ke sebuah bangunan yang amat megah dan besar. Sebuah perguruan tinggi yang dibangun sepuluh tahun lalu. Si Kerbau Kurus pun ikut melengohkan kepala ke arah bangunan itu.

"dulu di sana ada padang rumput tempat kita bisa bermain-main, kini sudah dihimpit gedung,” ujar Si Kerbau Gemuk.

“Bukankah itu tempat manusia menuntut ilmu!?” ujar Si Kerbau Kurus, “saya dengardi sana mereka belajar adat, budaya dan sopan santun. Mereka juga belajar bagaimana melestarikan alam, seperti hutan kita ini," Si Kerbau Kurus masih melihat kearah bangunan megah itu.

“Ah kau ini sok tau,” Si Kerbau Gemuk melirikkan matanya pada Si Kerbau Kurus.

”Ah! Entahlah! Aku tahu semua itu dari Si Burung Kalibri. Ia sering bermain-main di sana dan mendengarkan percakapan mereka. Kata Si Burung Kalibri, mereka disebut mahasiswa, entah dari mana Si Burung Kalibri mendapatkan istilah itu,” Si Kerbau Kurus menjelaskan tentang berita yang ia dapat dari burung kalibri yang suka menghisap madu dari bunga-bunga yang tumbuh di sekitar bangunan itu, “sayangnya aku tak bisa terbang. Kalau pun aku berjalan ke sana, sama saja aku bunuh diri,” lanjut Si Kerbau Kurus, kemudian menekuk kepalanya.

“Ha ha ha ha haa!” Si Kerbau Gemuk tertawa melihat wajah kusut Si Kerbau Kurus. Sampai-sampai giginya yang besar-besar terlihat semuanya, “tapi apa kau percaya dengan kata-kata Si Burung Kalibri itu?”

“Ya bagaimana ya? Ia bicara sangat serius, tak ada tanda-tanda berdusta, jadi aku percaya saja,” jawab Si Kerbau Kurus.

“Ha ha ha haaa!” Si Kerbau Gemuk tertawa lagi. Sebenarnya aku juga tau itu, tapi mereka belajar atau tidak apa ada pengaruhnya dengan hutan kita ini? Jadi untuk apa kita membicarakan mereka,” Si Kerbau Gemuk memasang wajah memelas.

“Ah, betul juga yang kau katakan itu,”

Keduanya diam beberapa lama. Hening. Tiba-tiba sebuah suara yang berasal dari bawah pohon besar, tak jauh dari batu besar itu, memecahkan keheningan.

“Hoi!”

Bersambung...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline