Lihat ke Halaman Asli

LGBT, Proxy War dan Koridor

Diperbarui: 4 Mei 2016   13:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi | docplayer.org

Sejak beberapa bulan lalu, istilah proxy war atau perang perwalian mulai muncul sebagai polemik ataupun bahan diskusi. Hal itu mulanya diutarakan Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, bahwa “LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trasgender) di Indonesia adalah bagian dari proxy war untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer.”

Lebih jauh pembahasan Ryacudu masuk dalam ranah ideologi, ia mewanti-wanti bahayanya proxy war ini. Menurutnya, proxy war merupakan bentuk perang modern yang “murah meriah”. Artinya, dalam perang tersebut tidak lagi menggunakan senjata, melainkan pemikiran. Hebohnya lagi, yang menjadi musuh dalam perang tersebut tidaklah mudah dideteksi karena serangan yang digencarkan berupa pemikiran-pemikiran.

Namun tak semua pihak sepaham dengan pendapat Menhan RI tersebut. Di Yogyakarta, Rabu (24/2/16), Kelompok Solidaritas Perjuangan Demokrasi menggelar aksi tandingan terkait dengan aksi penolakan terhadap LGBT yang sebelumnya dilakukan oleh sejumlah kelompok yang mereka anggap intoleran. “Mereka menebar kebencian. Kami akan terus bersuara melawan gerakan anti-LGBT,” kata Ani, salah satu aktivis Solidaritas Perjuangan Demokrasi.

Sementara dalam Pengkhianatan Marhaenis Terhadap Marhaenisme,Mastono menulis, “... itu semua (proxy war) hanya omong kosong belaka.” Dalam tulisannya itu, Mastono terkesan emosional dalam menanggapi pernyataan Ryacudu yang menurutnya “seringkali tidak logis sama sekali”. Namun dalam hal ini, Mastono lupa menjelaskan dimana letak ketidaklogisan setiap pernyataan Ryacudu sendiri, terlebih soal proxy war.

***

Dari ulasan diatas, setidaknya terdapat dua hal yang tampaknya harus segera dijawab. Pertama, siapakah dibalik LGBT? Kedua, bagamana melihat LGBT dalam koridor Pancasila?

***

Sebuah pertanyaan mengenai siapa dibalik LGBT ini memang jarang dibicarakan, terlebih dalam ranah kehidupan aktivis kampus. Kebanyakan dari mereka lebih terbatasi oleh wacana yang berkembang ke permukaan, yakni pro dan kotra LGBT itu sendiri.

Kita tentu belum lupa dengan apa yang terjadi pada tepat setahun lalu. Dimana seorang Perdana Menteri Luxemburg, Xavier Bettel, menjadi pemimpin negara anggota Uni Eropa pertama yang menikah dengan sesama jenis. Pada Mei 2015 lalu, Bettel menikah dengan rekannya, Gauthier Destenay, seorang arsitek asal Belgia. Mereka merupakan pasangan gay pertama yang menikah di Luxemburg, negara mayoritas Katolik yang bergabung dengan Uni Eropa paling akhir, dan mendukung penuh hak bagi pasangan sesama jenis.

32a919e7-66a7-4a83-926f-f81f42a4e6e4-169-5729922302b0bd440663a13e.jpg

Perdana Menteri Luxembourg, Xavier Bettel dan pasangannya, Gauthier Destenay. (sumber: CNN Indonesia)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline