Lihat ke Halaman Asli

Tragedi '65 dan Kemelut Sejarahnya

Diperbarui: 2 Oktober 2015   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Source: intelektualkiri.blogspot.com][/caption]

 

Polemik Tahunan, Tragedi Kemanusiaan yang Tak Kunjung Padam

[caption caption="Pemberitaan tentang G30S pada portal berita online, merdeka.com"]

[/caption]

Dalam 3 hari terakhir, berbagai media dipenuhi pemberitaan tragedi 1965. Dari media elektronik, cetak, online, hingga citizen journalism seperti Kompasiana juga tak ketinggalan untuk menjadikan tragedi 1965 sebagai topik pilihan. Genapnya 50 tahun tragedi 1965 menjadi lebih hangat dibicarakan. Terlebih dengan adanya wacana pemerintah untuk menyampaikan permintaan maaf pada keluarga PKI dan Gerwani. Beberapa pihak cepat-cepat merespon wacana tersebut. Namun akhirnya wacana itu hanya sekedar isu yang disebarkan oleh oknum yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga yang dikatakan oleh Sekretaris Kabinet maupun Presiden Joko Widodo sendiri, bahwa isu itu tidak benar. Namun, masalah tidak selesai begitu saja. Beberapa pihak masih mempersoalkan “luka sosial” yang hingga kini dialami keluarga korban tragedi 1965 maupun soal lainnya. Hal ini memicu beberapa pihak untuk mengusulkan perlunya rekonsiliasi terkait tragedi 1965.

 

Muara G30S: Pembunuhan Massal dan 32 Tahun Kediktatoran

Memang tragedi 1965 masih menyisakan banyak hal. Dalam beberapa sumber, tragedi 1965 diawali dengan beredarnya isu tentang Dewan Jenderal yang merencanakan kudeta. Isu tersebut segera ditanggapi beberapa pimpinan PKI yang kemudian membentuk Biro Khusus. Disusul peristiwa penculikan 7 jenderal yang dianggap hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Namun aksi yang dilakukan oleh G30S (Gerakan 30 September), atau menurut Bung Karno Gestok (Gerakan 1 Oktober) itu tidak terencana dengan matang. Hingga gerakan pun kacau dan kebingungan. Sehingga saat pemberitaan bahwa 7 jenderal tersebut telah mati terbunuh, segera saja Suharto memanfaatkan situasi dan menjadikan aksi tersebut sebagai “legitimasi” untuk menyusun rencana penumpasan PKI. Dalam pertumpahan darah terburuk di abad kedua puluh ini, jutaan manusia dibantai oleh Angkatan Darat dan milisi yang berafiliasi dengannya. Pembantaian yang dilakukan sangat beragam cara. Belakangan beberapa situs menayangkan karikatur-karikatur yang menggambarkan kekejaman pembantaian PKI. Bahkan di kampung halaman penulis, beberapa anggota PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya disembelih layaknya binatang.

[caption caption="Korban pembantaian dimasukkan dalam lubang secara berjajar untuk memudahkan eksekusi"]

[/caption]

[caption caption="Korban dalam keadaan terikat di leher masing-masing"]

[/caption]

Selain itu, pada masa kekuasaannya Rezim Suharto juga menanamkan kesadaran publik bahwa PKI telah melakukan kejahatan besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pemutaran film-film “wajib” seperti Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI (1984), pembangunan Monumen Pancasila Sakti dan Museum Pengkhianatan PKI, serta penerbitan buku-buku sejarah sekolahan. Semua itu dilakukan hanya sebagai “pelajaran moral sederhana”: bahwa PKI bersifat anti nasional, anti agama, agresif, haus darah, dan sadis. Semua itu tidak menawarkan penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan pribadi dan kapitalisme, tidak ada sejarah mengenai sembangsih PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani secara damai. “Kekerasan budaya” semacam ini dirancang untuk meyakinkan masyarakat tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap komunisme, khususnya PKI di tengah kehidupan berbangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline