Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 57% ibu melahirkan di Indonesia mengalami baby blues syndrome. Ini termasuk angka paling tinggi di asia dari rentang 26-85% secara keseluruhan.
Lebih jauh, 50% wanita Indonesia mengalami baby blues atau postpartum blues yang bersifat sementara dan terjadi pada minggu pertama pasca melahirkan. Sementara 34% mengalami postpartum depression dan 1% mengalami postpartum psikosis.
Dikutip dari berbagai sumber, baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental pada seorang wanita pasca melahirkan yang disebabkan oleh perubahan hormon, kurang istirahat kesulitan beradaptasi dan atau memiliki riwayat gangguan mental.
Pasca melahirkan, kadar hormon progesteron dan estrogen dalam tubuh seorang wanita akan mengalami penurunan secara drastis, sehingga memicu perubahan pada suasana hati, merasa tertekan dan lelah.
Kurangnya waktu istirahat bagi wanita baru melahirkan karena kesibukan mengurus sang buah hati juga turut menjadi pemicu terjadinya gejala baby blues. Sebab, siklus tidur bayi baru lahir belum teratur, sehingga dapat mengurangi waktu tidur sang ibu.
Apalagi kalau misalnya pengalaman pertama lahiran sekaligus jadi seorang ibu, kadangkala ia butuh waktu untuk dapat beradaptasi dengan baik. Itulah mengapa peran keluarga terutama suami sangat penting bagi seorang isteri pasca melahirkan.
Tentu saja, wanita yang memiliki riwayat gangguan mental lebih rentan mengalami gejala baby blues syndrome, seperti depresi, cemas berlebihan, bipolar dan lain sebagainya. Selain suami atau keluarga, negara juga perlu hadir menganangi masalah postpartum syndrome ini.
Masalah baby blues syndrome ini menjadi penyebab utama seorang wanita yang baru lahiran mengalami perubahan secara emosional seperti, mudah sedih, marah, menangis, merasa letih dan nafsu makan jadi menurun.
Biasanya terjadi beberapa hari (3-4 hari) pasca melahirkan dan berlangsung hingga dua pekan. Bila lebih, maka dapat dikategorikan sebagai postpartum depression, dan bahkan postpartum psikosis yang perlu penanganan medis.
Meskipun baby blues hanya bersifat sementara, namun kesehatan mental satu ini tidak dapat disepelekan. Kondisi ini bisa mempengaruhi interaksi ibu dengan bayi serta hubungan dengan anggota keluarga lainnya menjadi kurang baik.
Penting bagi keluarga, terutama pasangan (suami) yang mendapati isterinya mengalami gejala ini untuk memberikan dukungan agar dapat melalui fase ini dengan baik. Pastinya, negara juga perlu hadir supaya masalah ini tak semakin meningkat.