Salah satu ancaman terbesar pelaksanaan pemilu 2024 kali ini adalah maraknya disinformasi, penyebaran berita palsu atau hoaks melalui platform digital. Mengancam, karena hal ini dapat merusak serta mengacaukan sendi-sendi demokrasi, memperkeruh suasana, menyesatkan konstituen dan merusak citra sekaligus integritas proses politik.
Penyebaran berita bohong dan berita dengan judul clickbait (menipu) bukan hanya mewarnai tapi juga membanjiri proses pemilu, dan sayangnya, 42 persen masyarakat Indonesia menurut Menkominfo, Budi Arie, percaya pada disinformasi tersebut. Dalam arti lain, saking masifnya penyebaran disinformasi soal pemilu sehingga masyarakat menganggap bahwa informasi itu merupakan sebuah kebenaran.
Tentu saja kaget, bagaimana bisa jumlahnya sampai sebesar itu. Dapat disimpulkan bahwa, masyarakat Indonesia bukan kekurangan informasi mengenai pemilu, tetapi lemahnya literasi pada informasi pemilu itu sendiri. Dugaan saya, semua informasi yang masuk melalui media ditelan mentah-mentah tanpa melalui proses seleksi terlebih dahulu.
Saya teringat pada mantan Kanselir Jerman, Joseph Goebbles, dia pernah mengatakan begini, "Ulangilah kebohongan sesering mungkin maka dia akan menjadi kebenaran." Ungkapan ini kemudian dikenal sebagai hukum propaganda dan banyak diadaptasi oleh orang-orang di dunia politik serta media. Dalam istilah psikologi ini disebut dengan efek ilusi kebenaran, kecenderungan mempercayai informasi yang salah karena efek pengulangan.
Publik percaya disinformasi tersebut karena seringnya mendengar, membaca atau melihat sampai pada akhirnya merasa sudah tidak asing lagi atau akrab dengan berita yang diterima. Bila sudah akrab, secara otomatis otaknya akan menerjemahkan keakraban tersebut sebagai sebuah kebenaran, terlebih bila tidak mendapatkan informasi pembanding sama sekali atau menutuo diri terhadap informasi yang berlawanan.
Selain hukum propaganda dan efek ilusi kebenaran, ada lagi istilah yang seringkali digunakan dalam dunia politik, yakni Asap dan Cermin. "Asap dan cermin" adalah trik yang digunakan para politisi untuk mengaburkan kebenaran, biasanya melalui gangguan, penyesatan, atau sebagian kebenaran. Taktik ini juga dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari fakta-fakta yang tidak menyenangkan.
Dalam konteks pemilu Indonesia, nampaknya ketiga istilah ini digunakan semua. Seakan-akan Joseph Goebbles terlahir kembali lalu meneriakkan kalimat propagandanya melalui tim sukses serta media massa. Berita bohong terus diproduksi untuk mendiskreditkan lawan politik dan pada saat yang sama hendak menutupi kebobrokan dirinya.
Soal menutupi atau mengaburkan fakta dan kebenaran, dapat kita buktikan dari argumen para politisi saat ini. Mereka yang sebelumnya membenci tetiba memuji sekaligus membela habis-habisan kandidat yang diusung. Padahal, jejak digitalnya belum terhapus dan masih terus ada sampai saat ini. Dengan sengaja atau terpaksa menyesatkan orang lain melalui informasi yang ditutupi kebenarannya.
Termasuk juga, iklan-iklan kampanye atau debat capres dan cawapres yang baru-baru ini dilakukan tampaknya lebih bersifat asap dan cermin dibandingkan diskusi substantif mengenai kebijakan, visi-misi dan program, yang bertujuan untuk mengaburkan kelemahan diri sendiri dibandingkan menjelaskan posisi mereka. Seolah-olah menawarkan kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran untuk bangsa dan negara, padahal hanya gimik belaka.