Lima tahun lalu, tepatnya ketika pemilu 2019, dalam perjalanan menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) saya berpapasan dengan sekelompok ibu-ibu yang satu sudah mencoblos dan satu lagi hendak mencoblos. Mereka bertegur sapa dan terjadilah dialog seperti berikut.
"Sudah nyoblos?" tanya seorang ibu yang baru mau mencoblos.
"Iya, sudah," jawabnya singkat sambil melemparkan senyum.
"Nyoblos siapa?" tanyanya lagi.
Mungkin karena penasaran pada pilihan temannya sehingga ia beranikan diri untuk bertanya dan atau memang karena belum tahu siapa calon-calon yang akan ia coblos, akhirnya bertanya dengan harapan mendapatkan gambaran untuk memilih. Alasan kedua masuk akal, sebab ada banyak kertas suara yang harus dicoblos, sementara belum mendapatkan sosialisasi.
"Gak tahu, saya asal coblos saja tadi, yang penting milih, ribet!" katanya sambil diikuti gelak tawa teman-temannya.
Fenomena pemilih bingung ini banyak kita jumpai sejak pemilu dilaksanakan secara serentak, khususnya di daerah pedesaan atau perkampungan. Pertama, karena minim sosialisasi. kedua, karena banyaknya jenis kertas suara. Ketiga, karena saking banyaknya jumlah caleg yang harus dicoblos.
Ini sekaligus jadi catatan serta masukan bagi penyelenggara pemilu agar fenomena seperti ini tidak terjadi lagi di pemilu 2024. Jikapun ada, minimal berkurang daripada pemilu sebelumnya sebagai tanda bahwa sosialisasi cara mencoblos berikut aturan mainnya sudah tersampaikan secara lengkap kepada semua konstituen.
Apa relevansinya dengan judul tulisan ini?
Memang, tulisan ini tidak bermaksud mengungkap, mengomentari atau memperpanjang bahasan mengenai fenomena pemilih bingung. Kasus ini menjadi penting dibahas hanya untuk menunjukkan sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU) harus lebih gencar mensosialisasikan mekanisme pemilu, terutama soal pencoblosan.
ini penting dilakukan untuk menekan jumlah golput yang pada pemilu 2019 lalu jumlahnya mencapai 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen. Sebagian orang menganggap pemilihan seperti ini tidak penting, sehingga mereka enggan datang ke TPS untuk mencoblos atau memilih. Ini alarm atau tanda bahaya bagi kualitas demokrasi Indonesia, dan satu-satunya cara mencegah hal ini terjadi adalah senantiasa mengedukasi masyarakat.