By. Bustamin Wahid
Direktur Badan Riset dan Inovasi KAHMI (BRIK) Papua Barat
Sikap ilmiah dan kearifan kita harus benar-benar di tinggikan, apa lagi di momentum hari lahir pancasila 1 juni 1945. Poin dari momentum ini, sesungguhnya pikiran besar ini tak lahir sebentar dan sekejap, ranah diskursus sudah terjadi semenjak lama dalam alam kesadaran Presiden Soekarno (Bung Karno) tentunya. Ada yang tak sedikit mencari titik kelemahan dari pancasila itu sendiri, ada sebagian kelompok memuji pancasila, kelompok dua arah ini dengan dasar akademis.
Pidato Presiden Ir. Soekarno (Bung Karno) dihadapan BPUPKI, suguhan pidato penuh dengan wawasan kebangsaan. Bung Karno mencoba mengikat tarikan perjumpaan orang-orang nusantara dari Aceh-Irian Jaya (Papua), dia jadikan sejarah perjumpaan para pendahulu sebagai kekuatan geopolitik dalam menyatukan Indonesia, kendati semua itu jika di sadari telah terjadi dengan riskan dan heroik.
Wawasan kebangsaan dan rasa nasionalisme menjadi paradigmatik dalam bernegara yang bernama Indonesia. Bung Karno radiks atas sejarah relasi antara Papua dan Tidore, yang kemudian mengkulminasi menjadi satu perjuangan lauar biasa, wawasan kebangsaan dan relasi kultural ini selalu di jejaki dari Sultan Al Mansur, Nuku hingga Hi. Salahudin bin Talabuddin. Sultan Zianal Abdin Syah adalah ingatan sejarah untuk mengikat semua itu dalam konteks politik kebangsaan, oleh sebab itu wawasan kebangsaan menjadi percikan serius dalam ide pidato Bung Karno. Ini satu momentu, masi banyak peranan yang belum direkam.
Ketuhanan Yang Maha Esa: Tafsir atas Realitas Beragama di Tanah Papua
Jika kita beragama dan ber-Tuhan di tanah Papua, maka akan kita jumpai dengan realitas toleran dan persaudaraan. Tanah Papua punya jalan dan kearifan tentang bertuhan, sebelum islam dan kritis berada di tanah Papua, orang Papua punya kepercayaan atas penguasa alam semesta melalui tafakur alam atau ritus adat.
Konteks ke-Tuhan-an di Papua tak sekedar membutukan rasionalitas tapi memerlukan sika bijaksana dalam menerima pemahaman baru ini, dalam catatan sejarah lokal di Tanah Papua kita akan menemukan sosok seperti Tiparie Anggiluli, pribadi yang memiliki wawasan memadai, rasional dan mampu mencari alternatif argumen dalam meyakinkan masyarakat lokal pada saat Sultan Al Mansur dari Tidore menyiarkan Islam di Tanah Tarof. Sederhanya Saya Pahami bahwa akumulasi peradaban yang besar di tanah Papua ini tidak dikerjakan dengan cara-cara kanibal, tapi dilalui dengan nilai-nilai keadaban yang tinggi atau dalam istilah Kleden sekelompok orang tertentu terus memelihara sikap-sikap ilmiahnya (kewarasan) di arena peradaban.
Tradisi pengetahuan orang-orang Papua juga tak canggung dan gagap atas wawasan kebangsaan, tradisi pengetahuan dalam pendidikan adat Wofle suku Maybrat misalnya telah mengsyaratkan pembayaran dengan menggunakan kain Timur, cerita orang Papua dengan sejarah kain timur menjadi jalan perjumpaan peradaban bangsa-bangsa Nusantara di tanah Papua. Cermin wawasan kebangsaan sungguh terlihat dengan tradisi pengetahuan dengan segala imajinasi dan kreatifitas yang dikerjakan. Jadi realitas ke-Tuhanan di Papua memiliki daya dukung kearifan dan sosio-pengetahuan yang baik.
Besar harapannya, pancasila harus dipahami sebagai paradigma hidup yang mengikat kebersamaan dalam bernegara, tapi perhatiannya universal di semua level harus diwujudkan. Karena menjadi paradoks kemudian, jika hanya hadir menjadi dogma yang menakutkan, di Papua sendiri jika diamati kemudian membangun sistem argumen yang serius dalam tafsir semua poin pancasila, maka sila pertama adalah implikasi tertinggi. Kita tidak tahu Papua kedepan dalam polarisasi keagamaan, apakah terjadi benturan ordo-ordo spiritual dan sekte agama? Kita berharap kearifan di tanah Papua terus terjaga, hingga akhir nalar absolut.
Pancasila, Papua dan Harapan Orang Kokoda!