Isu Pengaturan Skor dan Sensasi Media
Lagi dan lagi. Kehebohan isu pengaturan skor ( match fixing ) merebak menyusul hasil buruk tim sepak Indonesia U-23 di pentas Sea Games di Singapore. Belum kering peluh pemain dan belum hilang gundah karena hasil buruk tersebut para pemain dan offisial harus menerima tudingan yang jika tidak terbukti sungguh keji. Tapi jika terbukti tuduhan tersebut maka para pelaku pengaturan skor tersebutlah yang melakukan perbuatan tercela. Walaupun begitu sangat disayangkan tuduhan prematur tersebut dilakukan dengan melakukan konferensi pers dan menimbulkan spekulasi liar.
Saya meyakini pengaturan skor itu memang ada dan akan selalu ada bukan hanya di Indonesia dan tidak hanya di sepakbola. Bahkan di Inggris negeri nenek moyang sepakbolapun pernah ada dan terungkap dengan keterlibatan kiper Liverpool di awal 90an Bruce Grobbelar. Di Indonesia pun pernah terbongkar mafia wasit yang dikendalikan oleh wasit senior untuk mengatur hasil pertandingan sesuai pesanan di tahun 90an. Tapi hanya di Indonesia isunya sedemikian heboh namun jarang sekali ditangkap pelakunya. Atau kalaupun tertangkap, polisi tidak tahu harus ngapain karena minimnya bukti dan belum adanya perangkat hukum yang menjeratnya. Mau pakai KUHP pakai pasal yang mana? Kasus Johan Ibo yang kemarin katanya tertangkap tangan ketika mau menyuap pemain di Surabaya akhirnya dilepaskan. Jadi saya juga pesimis dengan tuduhan yang pengaturan skor di Sea Games tersebut. Transkrip rekaman percakapan telepon tersebut yang dijadikan indikasi lebih bisa dianggap sebagai asumsi daripada bukti. Sayangnya asumsi tersebut sudah menggelinding liar dan banyak yang percaya dan anak anak muda itu sudah dihakimi terlepas hasil yang mereka berikan mengecewakan.
Kehebohan pengaturan skor kali ini mengingatkan saya pada kehebohan yang serupa 4 tahun lalu. Polanya sama persis yaitu sensasi yang ditimbulkan. Ketika Indonesia gagal menjuarai Piala AFF 2010 publik dihebohkan oleh isu bahwa kekalahan Indonesia 0-3 oleh Malaysia di Stadion Bukit Jalil telah diatur oleh sindikat judi dengan pengurus PSSI. Dan isu itu merebak bersumber dari sebuah surat kaleng yang ditujukan kepada Presiden Yudhoyono. Pengirim surat tersebut memakai nama samaran Eli Cohen dan mengaku pegawai ditjen pajak. Sontak kehebohan melanda dan spekulasi liar menjalar kemana mana. Beberapa pemain sempat mendapat tuduhan keji. Bambang Pamungkas yang merupakan saksi hidup kamar ganti membantah tudingan tersebut. Namun kita tahu akibat dari isu tersebut masih banyak dari kita sampai hari ini meyakini isu tersebut. Sementara sang penyebar isu entah dimana keberadaannya untuk dimintai kesaksiannya. Saya mencatat isu tersebut mencuat juga ketika PSSI dilanda kisruh.
Memang dibanding dengan isu skandal Bukit Jalil dimana sumbernya sampai sekarang ngumpet, isu pengaturan skor Sea Games kali ini ada whistle blowernya dengan inisial BS. Sayangnya transkrip rekamannya tidak secara jelas menunjukkan adanya pengaturan skor yang dituduhkan. Mereka mengaku sudah melaporkan isu pengaturan skor di Sea Games dan ISL ke Bareskrim Mabes Polri. Namun kemudian terungkap seperti yang dikatakan Kapolri, bahwa kedatangan mereka ke Bareskrim hanya menginformasikan dan belum bisa dibuat laporan polisi karena kurangnya bukti pendukung. Waduh, padahal para aktivis yang tergabung dalam TimAdvokasivsMafiabola sudah menggelar konferensi pers dengan gagahnya menyebut adanya mafia pengaturan skor di ISL dan Timnas U-23. Namun melihat pernyataan Kapolri diatas, saya lagi lagi pesimis dan isu tersebut hanya akan menjadi sensasi di media dan menguap seperti sebelumnya.
Patut juga dikritisi cara yang ditempuh oleh para aktivis TimadvokasivsMafiabola tersebut. Kalau mereka memang berniat membongkar sindikat pengaturan secara hukum harusnya pakailah cara yang smart. Yang saya tahu rekaman percakapan telepon itu baru dibuka di persidanganan untuk menguatkan tuduhan. Lha koq ini malah diumbar di media dan whistle blowernya diungkap meskipun cuma inisial. Dengan diumbarnya sebuah kasus di media bukannya ini malah si pelaku bisa menghilangkan barang bukti atau kabur. Kita lihat cara KPK yang hanya memutar rekaman percakapan telepon di pesidangan. Sangat berbeda juga dengan pengungkapan kasus korupsi FIFA. Kita baru tahu bahwa whistle blower nya si Chuck Blazer setelah terjadi penangkapan. FBI bekerja secara senyap dan berhasil mencokok pejabat FIFA baru diumumkan ke publik. Lha disini koq malah koar koar dulu di media terus gak ada kelanjutannya. Polanya persis dengan isu skandal Bukit Jalil sama sama diumbar di tengah kisruh. Dan korban pertama pembunuhan karakter itu lagi lagi pemain.