Lihat ke Halaman Asli

Django Unchained : Meledek Perbudakan dan Pesta Darah ala Tarantino

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1361517866448730457

[caption id="attachment_228581" align="aligncenter" width="300" caption="poster Django versi lawas ( sumber foto : wikipedia )"][/caption] Nonton Django Unchained seperti menemukan film cowboy yang berbeda. Tidak seperti film koboy umumnya ala Billy the Kid, Wyatt Earp atau semacamnya yang menampilkan sosok heroisme Yankee ras Anglo Saxon. Duet maut Afro-American cowboy pada Django (Jamie Foxx) dan Aryan cowboy (Jerman) pada dr. Schultz (Christoph Waltz) yang menjadi jagoannya sementara para Anglo Saxon menjadi banditnya. Pada film koboi mainstream hampir semua jagoannya selalu orang Anglo Saxon sementara orang Hispanik (Latin Amerika) , Indian dan Afro-Amerika (kulit hitam) hanya jadi pelengkap sang jagoan. Wajar saja karena memang era koboi adalah era Wild Wild West yang menampilkan superioritas orang kulit putih yang sebagian besar dari ras Anglo Saxon. Memilih black cowboy sebagai jagoan sejalan dengan tema utama film ini yang mengangkat praktek perbudakan yang marak dan dilegalkan di Amerika pada abad 19 terutama sebelum era Civil War (Perang Saudara) antara kubu Utara yang lebih liberal dan Selatan yang masih mendukung perbudakan. Karena sudah banyak yang bikin sinopsis film ini maka saya ingin lebih menampilkan sisi lain yang menarik dari film ini - versi saya tentunya. Django adalah seorang budak yang dibebaskan oleh dr.Schultz - koboy bergaya aristokrat dari Jerman - dan mereka menjadi partner sebagai pemburu hadiah yang membunuh para bandit yang jadi buronan penegak hukum dan mendapatkan imbalan dari setiap mayat bandit yang mereka bunuh. Melihat aksi mereka mengeksekusi bandit mengingatkan saya pada masa Petrus (Penembak Misterius) yang marak di Indonesia pada tahun 80-an. Setelah merasa hadiah dari hasil membunuh bandit sudah cukup, mereka berupaya mencari istri Django yang terpisah sebagai akibat dari praktek perbudakan.Upaya pencarian membawa mereka pada Calvin Candie (Leonardo Di Caprio), seorang promotor Mandingo (tarung bebas) sekaligus pemilik puluhan budak dan pengikutnya. Film ini bagi saya adalah olok olok Quentin Tarantino, sang sutradara sekaligus penulis skenario terhadap masa perbudakan di Amerika. Selain pemilihan black cowboy, olok olok soal perbudakan digambarkan ketika orang kulit putih melihat orang kulit hitam naik kuda seperti melihat alien. Bahkan ketika mereka mendapati koboy hitam yang masuk bar seperti melihat setan dan segera memanggil sherif. Olok olok lain adalah ketika terjadi dialog antara wanita kulit hitam dengan tuannya ( Don Johnson) tentang bagaimana memperlakukan Django yang adalah orang kulit hitam yang sudah bebas (bukan budak-pen). Ketika si wanita pelayan menanyakan apakah Django harus dilayani seperti orang kulit putih sang tuan terlihat ragu sampai dia menemukan jawaban yang pas. Namun di tampilkan juga penyiksaan terhadap para budak yang berbuat salah atau melarikan diri. Ini yang menjadikan film ini bagi saya anti thesis dengan film film koboy sebelumnya yang menonjolkan kegemilangan orang kulit putih era Wild Wild West. Justru disini masa kelam perbudakan bisa dijadikan cermin bagi orang Amerika sekarang bahwa kegemilangan mereka menyisakan kepahitan bagi warga kulit hitam di masa lalu. Namun tetap saja dalam film ini seolah mengatakan bahwa orang jahat dan baik tidak berdasarkan warna kulit. Karakter mental budak sejati pada Stephen (Samuel Jackson) yang bahkan demi loyalitas pada tuannya bertindak jahat terhadap sesama orang kulit hitam dan ikut menyebut 'boy' atau 'Negro' pada sesamanya. Sebutan boy atau negro (niger) adalah sebutan melecehkan yang lazim di masa perbudakan. Film ini adalah modifikasi dari film koboy lawas bikinan Italia  yang diperankan Franco Nero sebagai Italian cowboy dengan judul sama Django. Django ala Franco Nero sempat disebut film yang mengekspos kebrutalan dan sisi ke-macho-an sang jagoan. Kesuksesan Django sempat dibuatkan versi plesetannya di Indonesia diperankan oleh Benyamin Sueb dkk  dengan film Tiga Janggo ( tanpa huruf D). Dan untuk menghadirkan memori Django asli sekaligus 'serah terima jabatan', Franco Nero dihadirkan kembali di film ini meski hanya menjadi cameo sebagai seorang penjual budak. Dan terjadi dialog yang lucu - bagi yang tahu - antara Django lama (Franco Nero) dan Django baru (Jamie Foxx). Ketika Franco Nero menanyakan nama Jamie Foxx dan dijawab "Django" , lalu Franco menimpali " Bagaimana mengejanya? Si Jamie bilang " D-J-A-N-G-O, huruf D tak dibaca " dan Franco Nero dengan dingin menimpali " I know " . Haha dan akupun tertawa kecil. Sepertinya banyak anak muda yang tidak begitu tahu peran Franco Nero sebagai Django versi lama sehingga hanya sedikit yang tahu kelucuan dialog tersebut. Humor berkelas.... Kelucuan lainnya adalah olok olok soal topeng yang dipakai rombongan kulit putih yang dipimpin oleh Big Daddy (Don Johnson) yang memburu Django dan dr.Schulz. Menurut saya ledekan ini ditujukan pada Klux Klux Klan, sebuah organisasi rasis garis keras yang mengusung gagasan supremasi kulit putih di Amerika yang identik dengan seragam jubah putih dan topeng putih. Dialog bagaimana topeng itu justru mengurangi penglihatan mereka malah terlihat lucu seperti olok olokan model anak alay yang dilakukan bapak bapak haha.... Dan juga yang bikin beda juga adalah ilustrasi musik yang bukan didominasi musik country saja. Ada citarasa Latin, ballad dan hiphop/ rap (sepertinya ada suara Eminem disana) menjadikan film ini kaya rasa. Bahkan ada dimana Django dan dr.Schultz sedang berkuda dengan ilustrasi musik - yang ada sedikit cengkok dangdutnya - mengingatkan saya pada adegan Rhoma Irama sedang naik kuda dalam film Satria Bergitar yang saya tonton beberapa tahun lalu di bioskop keliling di balai desa. Haha... Tapi tetap saja ini film koboy yang harus ada dar der dor nya. Seolah mengulang kebrutalan Django versi lama yang mengumbar pertumpahan darah. Namun ditangan Quentin Tarantino adegan tembak tembakan menjadi lebih dramatis seperti pesta mandi darah. Visualisasi peluru menembus dada, kepala, tangan, kaki bahkan kemaluan diumbar serta darah yang mengucur dan muncrat dieksplorasi dengan begitu (maaf) 'indah'. Saya sempat berpikiran kenapa adegan muncrat darah yang seperti banjir ini lolos sensor atau mungkin karena begitu artistiknya parade guyuran darah tersebut. Jika ada drakula atau vampire ada disana pasti dia akan kekenyangan darah.... Bagi saya akting dan terutama aksen Austria-Jerman Christoph Waltz menjadi salah satu daya tarik film ini. Tak ketinggalan watak slave mentality sejati yang diperankan Samuel Jackson sangat kuat. Meski Denzel Washington tetap aktor kulit hitam favorit saya namun Jamie Foxx sepertinya lebih pas sebagai Django. Leonardo di Caprio? . ..ehm not bad. Oh ya, film ini mendapat 5 nominasi untuk Academy Award 2013 salah satunya nominasi film terbaik. Over all, Good job Mr. Tarantino! Entertaining....... DAR DER DOR.......! Salam, P.S : Foto poster sengaja ditampilkan versi lama punya Franco Nero biar beda sama postingan lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline