Lihat ke Halaman Asli

Tujuh Belasan 10 Tahun Silam

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Awiligar 10 tahun yang lalu, jika kita bertanya pada bocah gila bola yang belum pernah mimpi basah, bulan apa yang paling dia tunggu-tunggu, besar kemungkinan jawabannya adalah bulan Juli-Agustus. Bulan dimana pesta sepakbola bocah digelar. Setidaknya itulah yang biasa terjadi di RW 10 Awiligar. Sebuah tradisi merayakan hari kebebasan kita dari penjajahan asing dengan mengadu bocah-bocah yang belum akil bhalig di lapangan dengan dua gawang. Kejuaran Tujuhbelasan antar RT. Kadangkala tensi turnamen menjadi cukup panas karena orang tua beranggapan harga diri RT nya ikut dipertaruhkan disitu. Padahal bocah-bocah itu hanya ingin bermain bola dan mendapatkan hadiah. Marilah kita dengar penuturan mantan pelaku yang pernah menjalani masa-masa menyenangkan tersebut. Adalah Agrem, Uki, Mamat dan Gaang narasumber kita. Saat ini mereka sudah memiliki KTP dan (semoga saja) sudah dewasa. Keempatnya sama-sama tinggal di RT 03 RW 10 Awiligar. Sudah barang tentu mereka membela panji RT 03 ketika Kejuaraan Tujuhbelasan. Cerita diawali ketika Agrem pindah ke RW 10 pada tahun 1995. Saat itu usianya baru 6 tahun, kelas 1 SD, tentu saja saat itu dia belum terlibat dalam hal bela-membela timnas RT. Tapi ketika itu dia sudah diajak bapaknya untuk menonton kejuaran tahun 1995 yang diadakan di lapangan ujung utara RW 10, lapangan tanah merah tepat berbatasan dengan lahan makam waqaf. Oke, Agrem tidak dapat mengingat detailnya lebih jelas. Lagipula dia belum mengerti sepak bola di usia itu. Melompat ke 4 tahun kemudian. Turnamen terakhir di abad 20 diadakan di bekas tanah gambut di RT 06 yang berbatasan dengan hutan GUPUSMU. Agrem ingat yang menjuarai turnamen tahun itu adalah RT 04. Dia ingat karena pada suatu sore orang-orang dari kawasan belakang rumahnya berbondong-bondong menuju lapangan sambil meneriakkan yel-yel ‘HIDUP FAJAR CITRA!!’ dan belakangan dia tahu bahwa Fajar Citra adalah klub sebak bola kampung dari RT 04. Hal lain yang lebih berkesan adalah mengenai penyerahan piala yang dilakukan di malam pentas seni tujuhbelas Agustus. Diadakan di lahan yang sama tempat turnamen sepakbola digelar, satu persatu anggota tim dipanggil naik panggung untuk menerima sertifikat dan piala. Semua itu sangat keren baginya. Bocah-bocah diantara para penyanyi dangdut orkes keliling! Kemudian tibalah juga saatnya bagi Agrem untuk tampil membela RT-nya. Usianya 11 tahun saat itu, duduk di kelas 6 SD. Ketua RT 03 memanggilnya untuk masuk tim hanya karena umurnya mencukupi untuk ikut turnamen, selain karena kesulitan menemukan bocah untuk membentuk tim. Agrem dan Mamat pada akhirnya menjadi bagian dari tim yang merebut gelar Runner Up di edisi tahun 2000. Kejuaraan tahun 2000 diadakan di sebuah lapangan bekas kebun jagung yang baru dipanen. Dengan teknik sangkuriang, para pemuda karang taruna berhasil mengubah bekas kebun tersebut menjadi sebuah lapangan spakbola mini 3 lawan 3 dalam semalam. Pemain andalan RT 03 saat itu adalah Tyas yang berhasil menjaga keperawanan gawang RT 03 dari babak penyisihan grup sampai ke final. Sayang di final dia dijebol 3 kali oleh bocah-bocah RT 02. Agrem sendiri bermain di seluruh pertandingan RT 03, sedangkan Mamat hanya bermain satu kali. Maka juaralah RT 02 di kandang nya sendiri. Tahun berikutnya Agrem masih masuk kedalam timnas RT 03. Sedangkan Mamat tidak ikut kejuaraan karena dia tidak berminat untuk bermain sepakbola tujuhbelasan lagi. Kejuaran tujuhbelasan diadakan di sebuah bekas lahan sawah milik Mak Titi di RT 02, karena itulah lapangan saat itu disebut Lapang Mak Titi. RT 03 gagal total mengulang prestasi tahun sebelumnya. Mereka menjadi juru kunci grup B dibawah RT 04 dan RT 06. Pada akhir nya RT 06 berhasil meraih gelar juara. Tahun 2001 adalah tahun terakhir bagi Agrem untuk dapat membela tim RT 03 di kejuaraan Tujuhbelasan. Tahun berganti, bocah-bocah yang sudah menjadi remaja berubah peran menjadi suporter pada pesta bola agustusan. Tahun 2002 adalah masanya bagi Uki dan Gaang untuk unjuk gigi. Uki baru pindah ke Awiligar tahun 2001 akhir, sedangkan Gaang yang penduduk asli akhirnya dianggap cukup umur untuk dapat dimasukan kedalam tim. Kejuaraan Tujuhbelasan masi diselenggarakan di Lapang Mak Titi. RT 03 menjadi underdog saat itu. Tim RT 02 mulai mapan dengan klub bola kampungnya, PS ARSEGAL, yang menyuplai timnas dengan talenta-talenta muda berbakat baru. Sebagai rival utama adalah kekuatan tradisional persepakbolaan RW 10, RT 04. Tanpa diduga RT 03 justru melaju mulus. Di babak penyisihan grup mereka menyingkirkan sang juara bertahan RT 06. Uki menjalankan peran playmaker dengan sangat baik. Bahkan dia berhasil masuk kedalam daftar pemain bintang turnamen tahun itu. Lawan di Semifinal adalah tim tuan rumah RT 02. Lagi-lagi Uki menunjukan sentuhan magisnya, tim unggulan tersebut mereka babat. Pertandingan ini menjadi ajang unjuk gigi striker muda RT 03, Gilang Gaang yang mencetak hattrick di hadapan ratusan pendukung tuan rumah. Sayangnya ketajaman Gaang hilang di partai final menghadapi RT 04, yang juga mengalahkan RT 03 di penyisihan grup, karena dia ketakutan terhadap atraksi barongsai sebelum pertandingan penting tersebut. Kejuaraan tahun 2002 adalah edisi terakhir yang diikuti oleh Uki. Tahun itu untuk pertama kalinya kejuaraan diikuti oleh 7 RT, setelah diadakan pemekaran daerah perbatasan RT 03 – RT 06 menjadi sebuah RT mandiri. Kontroversi terjadi ketika Uki dan seorang pemain RT 03 lainnya, Haikal Baho, tampil membela RT 03. Beberapa bulan sebelum turnamen Uki pindah rumah ke komplek perumahan baru di RW 10, dan rumah tersebut secara de facto berada di daerah RT 01. Begitupun rumah Haikal Baho yang berada di perbatasan RT 01 – RT 03, sebenarnya rumahnya terletak di RT 01. Memang secara teman bermain kedua bocah itu tidak pernah bermain dengan bocah-bocah RT 01 dan secara de jure mereka diakui sebagai bagian oleh bocah-bocah RT 03. Walau menggunakan 2 pemain naturalisasi nyatanya RT 03 justru gagal bersinar. Mereka kalah oleh tim baru RT 07. Uki tampil gugup sepanjang kejuaraan, mungkinkah karena kejuaraan digelar di Lapang Voli RT 01 sehingga dia merasa mengkhianati masyarakat? Bocah itu selalu menjawab bukan karena hal tesebut dia bermain buruk. RT 07 sendiri tampil dengan sokongan dana yang kuat dari Pak Uri, seorang juragan angkot yang pindah ke RT 07 tahun sebelumnya. Don Uri, the Godfather of RT 07, bersikap royal dalam memberikan fasilitas untuk bocah-bocah nya. Kaos tim, air mineral bermerk, extra joss dan bahkan bonus kemenangan untuk bocah-bocah dia sediakan. Alhasil RT 07 berhasil melaju hingga ke final setelah mengalahkan tuan rumah RT 01, yang juga diperkuat striker lincah hasil naturalisasi dari RW 11 bernama Adam. Di final mereka dikalahkan oleh RT 04. Tim itu berhasil mempertahankan gelar juara tahun 2001. Itulah sedikit keseruan yang tidak pernah terulang kembali saat ini. Turnamen Tujuhbelasan telah kehilangan gregetnya sejak bocah-bocah jarang menggunakan lapangan untuk bermain bola lagi. Bocah-bocah saat ini lebih akrab dengan internet, game online dan sepakbola PES dibandingkan bermain bola panas-panasan di lapangan, luka karena terjatuh dari sepeda, atau lari lintas alam demi mengejar layangan putus. Adios! Bangkitlah kembali sepakbola Indonesia!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline