Lihat ke Halaman Asli

Nasional.Is.Me Sebuah Perspektif Baru Mencintai Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum saya mengetik blog ini saya melihat seorang rekan cameraman News sedang bersiap berangkat menuju Komdak.  Agaknya dia terlibat dalam tugas "melindungi" Nazaruddin agar kepulangannya transparan di mata rakyat negeri ini. Seperti biasa saya menanggapi kepulangan Bung Nazar dengan sinis dan pesimis karena pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya jika melibatkan keluarga dan kroni Istana Negara pasti nantinya akan hilang bagaikan kabut di pagi hari, tebal begitu kena sinar matahari langsung lenyap tak berbekas.  Jadi bagi saya buat apa pemerintah membuang uang 4 milyar hanya untuk seorang Nazar, mending jemput saja dia dengan pesawat Hercules milik TNI AU. Pulangnya saya mendengarkan lagu Beta Belayar Jauh yang dinyanyikan Van Dijck Band sebuah Band yang terdiri dari keturunan Ambon di Belanda.  Saya jadi ingat buku yang baru-baru ini saya baca berjudul Nasional.Is.Me karya Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo, atau yang lebih dikenal dengan Pandji.  Kenapa bisa lagu Beta Berlayar Jauh terhubung dengan buku Nasional.Is.Me, karena keduanya menyiratkan sebuah kerinduan akan kampung halaman yang besar bernama Indonesia dimana sejauh-jauhnya mereka melangkah dan melangla buana namun kecintaan akan Indonesia tetap dalam. Tentu saja bukan cinta yang ditanam paksa oleh pendidikan dan brainwash ala orde baru, tapi mencintai Indonesia dengan fakta, data dan logika bahwa negeri dan negara ini masih pantas untuk dihargai oleh warga negaranya. Salah satunya adalah Pandji menerangkan bahwa ekonomi Indonesia tidak seburuk yang orang lain kira.  Ekonomi kita masih ada harapan bahkan maju, buktinya negeri Khatulistiwa ini masih diincar oleh para investor.  Bahkan bisa masuk dalam negera G20. Juga dengan masalah pendidikan yang selama ini diberitakan negatif.  Menurut Penyiar Radio ini pendidikan Indonesia masih baik, buktinyaanak-anak negeri ini masih bisa "bicara" di olimpiade-olimpiade sains tingakat dunia.  Bahkan di Amerika Serikat sudah mulai memperhatikan kepintaran orang-orang dari Indonesia bahkan mereka mulai merasakan adanya "ancaman" kepintaran tersebut karena di negara adi daya ini tingkat pendidikan rakyat mulai (cendrung) menurun akibat "kemudahan" pendidikan yang diberikan pemerintahnya.  Bahkan Bill Gates menyatakan pada 2020, hampir semua lowongan kerja bergaji tinggi akan diisi oleh orang-orang yang berasal dari India, China dan INDONESIA. Praktek Demokrasi di Indonesia pun dibahas dalam buku ini.  Indonesia adalah termasuk negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India.  Namun persentase tingkat keikutsertaan Pemilu Indonesia lebih besar daripada Amerika Serikat.  Kestabilan politik pun lebih tinggi daripada India.  Buktinya di Indonesia belum pernah ada Kepala Pemerintahan ditembak oleh pengawalnya seperti Indira Ghandi, dan ditembak ketika sedang kampanye seperti Rajiv Ghandi. Dalam bidang kerukunan beragama pun Indonesia relatif kondusif.  Bandingkan saja dengan negara jiran Malaysia.  Kebebasan beragama masih dikekang oleh pemerintah.  Bahkan ada batasan bagi pemeluk agama lain dalam menyebut nama Tuhan sebagai Allah. Asyiknya di buku ini bukan hanya dibahas keunggulan Indonesia namun juga fakta menarik tentang terbentuknya Indonesia.  Menurut buku ini, Indonesia terbentuk bukan berkat Majapahit tetapi berkat penjajahan Belanda, yang akhirnya membuat orang-orang yang memilik persamaan nasib ini membentuk sebuah negara yang bernama Indonesia.  Mirip sekali dengan pernyataan penulis Agustinus Wibowo dalam bukunya Garis Batas (lain kali akan saya tulis resensinya). Fakta yang amat menarik adalah ternyata Indonesia merdeka berkat orang-orang yang berpaham sosialis dan komunis, seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin.  Namun sayang jasa-jasa mereka dihapus oleh sejarah karena mereka adalah komunis dan sosialis.  Sudah saatnya bangsa ini membuka mata mereka tentang tokoh-tokoh yang haram disebutkan dalam sejarah Republik ini, bahwa karena merekalah kita bisa merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tanggal 23 Agustus atas saran Jepang atau 1970-an atas saran Belanda. Saya setuju bahwa negara Indonesia adalah Desa Galia di komik Asterix, yang tiada hari tanpa berkelahi namun ketika ada musuh, maka bangsa ini tiba-tiba bersatu menjadi kesatuan.  Lihat saja jika kita dicolek sedikit oleh Malaysia, maka anda bisa melihat semangat patriotisme berkobar di dada seakan menghapus perbedaan dan masalah yang ada. Namun saya kembali setuju juga dengan Pandji, ketika dia mengatakan alangkah lebih baik lagi jika kita bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Malaysia, tentunya bukan menduduki Malaysia itu sama saja cari penyakit baru (walaupun saya yakin bisa saja sih terjadi :D), namun berprestasi di negara jiran sehingga bisa mengibarkan bendera Merah Putih, seperti Bambang Pamungkas ketika dikontrak Selangor FC.  Hasilnya dia bisa menjadi Top Scorer (mohon maaf saya tidak tahu istilah peng-gol terbanyak dalam sepak bola).  Siapa lagi dong yang ikut bangga kalau bukan rakyat Indonesia. Dalam buku ini, Pandji juga menyarankan bahwa rakyat Indonesia tidak hanya mengkritik pemerintah atau mengeluh akan keadaan, tetapi juga proactive dengan keadaan dan masalah.  Banyak cara yang sudah dilakukan Pandji, seperti kegiatan Indonesia Unite, Coin For Prita sampai dengan menjadi pendonor tetap bagi penderita Thalassemia.  Toh, mengeluh atau mengkritik tidak akan membawa perubahan jika kita tidak bertindak.  Jika mengeluh macet kenapa nggak mencoba menguranginya dengan naik kendaraan umum misalnya.  Kecil sih tapi dampak luar biasa. Jadi sepesimis apapun pandangan kalian tentang negeri ini, cobalah membaca buku ini apalagi sudah dekat tanggal 17 Agustus mungkin ini akan menyegarkan rasa nasionalisme kalian seperti waktu kelas 1 SD dulu.  Saya setuju dengan Pandji, Republik berasaskan Pancasila ini layak untuk dicintai dan didukung walaupun ditengah pesimisme ketika menyaksikan drama (kelas teri) Nazaruddin dan juga usaha beberapa kelompok yang ingin menghapus Pancasila sebagai asas negara sekaligus "menjanjikan" bahwa itulah jalan yang terbaik.  Saya tidak ingin negara ini berubah asas menjadi asas apapun selain Pancasila karena saya yakin Indonesia tidak hanya dibentuk oleh sekelompok orang tertentu namun dibentuk oleh sebuah bangsa, bernama Bangsa Indonesia. Tulisan ini saya persembahkan buat kerabat Bapak saya yang sudah berjasa besar pada Republik ini tetapi hanya karena perbedaan pandangan politik harus "menghilang" ditelan jaman.  Buat Opa saya dengan segala kepercayaannya kepada Republik ini bahkan hampir dibayar oleh nyawanya ketika begitu banyak kesempatan untuk bisa pergi ke Belanda.  Indonesia memang patut diperjuangkan dan dipertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline