Lihat ke Halaman Asli

Orang Jepang, Agama dan Takhyul

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan Mama saya sampai pensiun adalah expatriat nurse atau perawat khusus mengurusi expatriat yang berobat di rumah sakit tempat beliau bekerja.  Kata kakak saya, mencari Mama di rumah sakit yang ramai itu mudah, cari saja orang bule yang biasanya lebih tinggi daripada orang Indonesia, nah ada Ibu-Ibu berwajah Ambon dan cantik (saya harus menyebutkan kata ini kalau gak berasa durhaka banget....hehehehehehe) yang tinggi sedada bule itu kalau beruntung sepundak mereka yang biasanya sih bule Perancis, nah itulah Mama saya. Pasien Mama saya selain bule juga banyak orang Jepang.  Kebanyakan dari pasien Jepangnya ini sama sekali tidak bisa bahasa Inggris apalagi Bahasa Indonesia jadilah Mama yang harus menyesesuaikan diri dengan Bahasa Jepang.  Menurut pengakuan Mama, beliau cuma bisa menjelaskan tentang obat, dosis dan penggunaannya, kalau diluar itu yah senjata Mama cuma senyum-senyum dan menundukan badan.  Namun tetap saja orang-orang Jepang tersebut merasa Mama bisa bahasa Jepang sehingga seringkali mereka ngajakin ngobrol yang sumpah Mama gak ngerti orang-orang itu ngomong apa. Beberapa hari setelah Natal di pertengahan tahun 90-an,  Mama diundang oleh seorang perempuan Jepang yang suaminya bertugas di Bontang, kebetulan sang istri amat berterima kasih atas bantuan Mama dan senang ngobrol dengan Mama.  Suami istri ini mendapatkan fasilitas sebuah rumah yang berada di dekat kompleks kami.  Bersama seorang teman Mama yang juga bertugas mengurusi expatriat, Mama akhirnya datang mengunjungi pasangan suami istri tersebut.  Ketika Mama datang, rumah kecil ini terdapat pohon natal plus pernak-pernik Natal lainnya.  Mama sampai menilai sebenarnya agak berlebihan juga sih. Karena bagi Mama menanyakan agama seseorang pada pertemuan pertama itu tidak sopan jadi Mama menilai bahwa suami istri Jepang ini beragama Kristen.  Namun penilaiannya juga dipenuhi kebimbangan karena jarang sekali orang Jepang menjadi Kristen.  Walaupun Mama dan temannya bingung tetapi sambutan tuan rumah yang menyenangkan bisa membuat Mama lupa dengan tanda tanya yang muncul dalam pikirannya. Ketika hendak pulang, mungkin teman Mama sudah tidak tahan untuk bertanya maka dengan sopan (sangat sopan malah) dimulai dengan permintaan maaf menanyakan agama mereka "Maaf, saya lihat banyak hiasan Natal dan Pohon Natal, apakah anda beragama Kristen?", Sang Istri dengan santainya menjawab "Tidak, kami tidak beragama Kristen.  Tapi kami suka sekali dengan perayaan Natal".  Tanggapan Mama dan temannya cuma diam dan senyum-senyum....hehehehehehe..... Keanehan orang Jepang dalam beragama tidak hanya saya temukan sekali saja.  Pada tahun yang sama bertemu lagi dengan teman keluarga kami Furyama-san.  Furyama-san merasa akrab sekali dengan keluarga kami, karena waktu saya SD, dia pernah meminta orang tua saya untuk mengadopsi saya menjadi anaknya dan membawa saya ke Jepang.  Tentu saja orang tua saya tidak melepaskan anak perempuan mereka yang manis ini kepada orang Jepang padahal sudah diiming-imingi uang dan juga janji untuk menyekolahkan saya setinggi-tingginya (yah mungkin saya ditakdirkan menjadi orang Indonesia tulen). Saking akrabnya dia suka cerita tentang apa saja sampai wilayah pribadinya salah satunya perceraian dengan istrinya karena istrinya tidak ingin mempunyai anak dan mengejar pendidikan akademisnya di Hawii.  Dan juga pernikahan keduanya dengan perempuan yang lebih muda 15 tahun. Suatu hari, Furyama-san mengundang makan malam kami sekeluarga.  Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba kami ngobrolin soal agama.  Ceritanya Furyama-san ditanya agamanya sama salah seoarang teman Indonesia-nya di Jakarta, "Saya jawab saya tidak tahu.  Saya tidak punya agama." Jawab Furyama-san. "Wah, anda harus punya agama kalau di Indonesia", saran temannya tersebut. "Kenapa saya harus punya agama?", tanya Furyama-san. "Karena orang Indonesia merasa wajib punya agama, kalau anda tidak punya agama mereka pasti ribut." "Oooooohhhhhh......tapi memang saya tidak punya." "Begini saja, Furyama-san beragama Shinto saja.  Biasanya orang Jepang kan beragama Shinto." "Oh, ya udah saya beragama Shinto aja deh", Furyama-san pun akhirnya menyetujui saran temannya itu.  Sehingga setiap kali ditanya orang Indonesia yang entah kenapa suka sekali menanyakan agama orang lain, selalu dia jawab "Oh, agama saya Shinto."  Dan biasanya oragn Indonesia sudah puas mendengarnya. Setelah dia bercerita itu, dia diam sebentar sambil tersenyum dia berkata pada kami "Saya juga baru tahu kalau Shinto itu agama.  Memangnya Shinto agama yah kalau di Indonesia?"  Kami cuma bisa ketawa sambil berpandangan.  Terserah lu aja deh Furyama -san.....hehehehehehehehe......pantas saja ketika saya kuliah dan mengambil kursus Bahasa Jepang, guru saya bilang orang Jepang terkenal memiliki tiga agama ketika lahir Shinto, menikah menjadi Kristen dan ketika meninggal menjadi Buddha....tapi yah itu sama-sama gak jelasnya....hehehehehehehe..... Kalau sudah begitu saya jadi ingat teman sekantornya Furyama-san, bernama Ebisu-san.  Kebetulan Ebisu-san tinggal di belakang rumah kami.  Kebetulannya lagi nih Ebisu-san itu Jepang cakep, mirip-mirip Yutaka Takenouchi seorang aktor Jepang, bedanya cuma Ebisu-san pakai kacamata aja.  Tentu saja, Ebisu-san menjadi target kecengan saya ketika itu.  Tiap hari saya tungguin dia pulang kerja, sampai saya hapalin jam-jam kapan dia pergi dan berangkat kerja.  Saya juga hapal nomor pintu mobilnya dan sesekali saya suka telponin dia, tapi begitu dia ngomong moshi-moshi sudah saya tutup telponnya saking deg-degan. Saat itu keluarga saya termasuk saya tentunya suka sekali diving, kebetulan Furyama-san juga suka diving.  Jadi kami mengundang Furyama-san untuk diving bersama.  Furyama-san berkata akan mengajak Ebisu-san.  Tentu saja mendengar kabar dari Furyama-san ini saya senang sekali.  Akhirnya melihat Ebisu-san langsung dari jarak kurang dari 10 meter.....hehehehehehehe.... Ketika hari-H, Furyama-san mengabarkan Ebisu-san tidak mau ikutan diving, alsannya dia tidak bisa berenang dan takut sama hantu laut.....ok...ok....kalau tidak bisa berenang...ok lah alasan itu masih bisa saya terima tetapi TAKUT HANTU LAUT.....yaaahhhh ampun....inilah pertama kalinya saya mendengar istilah hantu laut dan datangnya dari orang Jepang.  Orang Jepang yang selama ini konon kabarnya mereka lebih maju daripada orang Indonesia.....iiiiihhhhh gak banget deh Ebisu-san....yaaaahhhhh ternyata cakep-cakep percaya takhyul.....iiiihhhhh gak deh langsung drop deh. Ketika itu Indonesia belum mengenal Sadako, sehingga rasanya kok gak percaya orang Jepang percaya dengan takhyul.  Namun setelah trend The Ring (dengan semua sekuel dan remake dari Korea sampai Amerika), diikuti dengan Dark Water, saya jadi lebih tahu bahwa orang Jepang masih mempercayai takhyul dan urban legend.  Jadi tidak heran film horror Jepang menjadi lebih variatif dan menyeramkan. Bukan hanya itu saja, kalau saya bisa menarik kesimpulan (dari mengamati orang Jepang yang berada di dekat saya, bukan karena saya pernah tinggal di Jepang), kayaknya orang Jepang tidak terlalu fanatik soal agama, namun mereka percaya bahwa semua benda baik hidup maupun mati mempunyai jiwa yang patut dihormati, jadi tidak heran walaupun mereka punya banyak bahan cerita legenda namun pada saat yang bersamaan orang Jepang menghormati dan melestarikan budaya dan alam mereka....^_^ Sumber gambar : jspivey.wikippaces.com, news.bbc.co.uk, k-state.edu, templeofghoul.blogspot.com, britannica.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline