"I think using animals for food is an ethical thing to do, but we've got to do it right. We've got to give those animals a decent life and we've got to give them a painless death. We owe the animal respect."—Temple Grandin Sejak salah satu orang terdekat saya didiagnosis terkena autisme, saya menjadi banyak belajar tentang autisme. Saya menemukan banyak buku tentang kisah nyata autisme namun film kisah nyata tentang autisme sangat jarang dibandingkan kisah fiksi tentang autisme. Jadi begitu saya menemukan DVD film TEMPLE GRANDIN tentang seorang perempuan yang terkena autisme namun memiliki gelar S3 maka saya dengan impulsif langsung membelinya. Selain itu Grandin dianugrahi ingatan photografi atau melihat segala sesuatu dalam bentuk gambar atau film sehingga dia dengan mudah mengingat detail dari setiap gambar yang pernah dia lihat. Contohnya jika ia ingin mempelajari mempelajari Bahasa Perancis, dia tidak belajar tentang grammar tetapi dia akan mengingat satu halaman dari buku pelajaran sebagai satu kesatuan gambar. Hal ini membuat Grandin menyukai film dan televisi. TEMPLE GRANDIN adalah bukti bahwa seorang autisme bisa berguna bagi masyarakat dengan kelebihan [caption id="attachment_250393" align="alignright" width="274" caption="Claire Danes dan Temple Grandin asli"][/caption] dan kekurangan yang dia punya. Yang diperlukan adalah kasih sayang, pengertian dan kerja keras. Ketiga hal itu yang dilakukan oleh Ibunda Grandin, Eustacia Grandin yang dimainkan dengan apik oleh Julia Mormon. Dibantu dengan Aunt Anne, Grandin yang diperankan oleh Claire Danes menemukan kecintaannya terhadap sapi. Sapi-sapi inilah yang kemudian memberikan banyak inspirasi karya-karya Grandin sebagai ahli dalam bidang animal science. Salah satunya adalah mendesain perternakan sapi yang lebih efisien dan bebas stress bagi sapi yang akan dijagal. Walaupun pada awalnya desain ditentang oleh para peternak, namun sekarang sebagian besar perternakan dan rumha jagal di Amerika Serikat menggunakan desain perempuan yang termasuk High Fuctional Autism ini. Dalam film yang dirilis tahun 2010 ini, Claire Danes bermain bagus sebagai Temple Grandin penderita autisme. Bagaimana dia bisa menggambarkan kekurangan Grandin dalam membaca emosi dan ekspresi seseorang, sehingga ketika guru kesayangannya meninggal, ekspresi mukanya hanya lempeng sama sekali tidak ada emosi. Tidak heran Claire Danes memenangkan Emmy dalam kategori Pemeran Utama dalam Miniseri dan Film tahun 2010. [caption id="attachment_250395" align="alignleft" width="276" caption="Claire Danes ketika memerankan Temple Grandin bersama The Real Temple Grandin"][/caption] Bagi saya melihat Claire Danes memainkan Grandin, saya tidak percaya itu Danes karena bahasa tubuh dan suara yang dihasilkan berbeda sekali dari peran-peran Danes sebelumnya. Sehingga tak salah jika saya memberikan standing ovation bagi Danes. Selain itu Danes berani tampil total dan sama sekali tidak jaim, benar-benar menjadi penderita autis, bisa disejajarkan dengan Dustin Hoffman dalam film Rain Man. (ddduuuhhhh kenapa tiba-tiba jadi inget artis Indonesia yang gak mau tampil jelek dan bodoh sebagai totalitas berakting tapi tampil seronok dan seksi dianggap sebagai resiko akting dan pekerjaan....hhhhmmmmm) Grandin menunjukan saya keberanian untuk membuka pintu demi pintu akan menunjukan kita jalan menuju cita-cita dan impian kita. Yang dibutuhkan adalah hanya membuka pintu tersebut. Sumber gambar : moviestations.org , nymag.com , autisspectrumconnection.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H