Lihat ke Halaman Asli

Naluri Memberi Pegawai Kantoran dan Pedagang Diatas Bis Umum

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu ketika dalam perjalanannya yang panjang dan membosankan menuju pusat perkantoran di Jakarta, teman saya menelpon. Tak lama kemudian terdengar seorang pengamen menyanyikan sebuah lagu Rhoma Irama. Setelah lagu usai, si pengamen mengucapkan terima kasih dengan sopan dan menurut cerita teman saya, si pengamen berkeliling mengutip uang sukarela.

Teman saya melanjutkan ceritanya. Ada fenomena yang mengherankannya. Penumpang-penumpang di bis yang sekarang dia tumpangi, yang menuju pusat perkantoran nan mencakar langit di pusat peradaban Jakarta, dimana para penumpangnya tentu saja mayoritas berpakaian rapi dan elegan, rambut style salon terkini, sepatu kinclong serta beraroma sangat harum, justru pelit untuk sekedar memberi uang receh kepada para pengamen. Makanya pengamen di jalur ini relatif sedikit. Selama satu jam perjalanannya hanya ada satu pengamen.

Katanya lagi, dijalur menuju Tanah Abang yang pernah dinaikinya, dimana otomatis banyak diisi pedagang dengan baju seadanya dan bau sekenanya, ternyata para pengamen malah bergantian naik turun bis, panen. Kadang malah tidak lagi memberi recehan tapi uang ribuan, walaupun lecek karena tidak keluar dari dompet bermerk mewah (walaupun mungkin merk tembakan), melainkan keluar dari dompet kumuh, kantong lusuh bahkan langsung dari gumpalan uang yang dijejalkan disaku baju.

Lalu saya mengeluarkan analisa sekenanya tanpa dasar. Saya katakan kepada teman saya, pedagang itu terhadap uang secara mental lebih berani, karena biasa menanggung hutang yang cukup besar (sebagai konsekuensi ekspansi usaha) dan menanggung kerugian karena persaingan ketat dan kekeliruan membaca pasar, serta tidak pula takjub dengan keuntungan besar (karena sudah dihitung sebelumnya jika sukses, dan segera teralihkan perhatiannya untuk eskpansi). Sedangkan pegawai kantoran pemerintah apalagi swasta dengan penghasilan statis, tentu semua pendapatan sudah diatur sedemikian rupa menempati posnya masing-masing, sehingga pengeluaran ekstra diluar hitung-hitungan ditiap awal bulan tentunya menjadi pergolakan besar dalam batin. Sekalipun cuma receh, coba kalikanlah per hari kerja, per berapa ganti bis, per berapa rombongan pengamen, akan membuat mereka miris. Belum lagi pengeluaran untuk mendukung image kantoran yang tentu saja lebih besar dari pedagang-pedagang itu. Dengan sendirinya yang bekerja dikantor swasta akan lebih paranoid, mengingat kedudukan mereka dimata owner samasekali tidak sekuat pegawai negeri. Tapi apa betul seperti itu ya?

Ternyata surfing internet tidak berhasil menemukan hasil penelitian tentang sikap seseorang terhadap uang berdasarkan pekerjaan mereka. Mungkin penelitian tersebut sudah banyak, hanya tidak dipublikasikan di internet. Lagipula saya hanya orang awam yang tidak bersinggungan dengan komunitas para peneliti. Lebih jauh lagi saya juga tidak pernah mencermati tulisan-tulisan para peneliti tentang hal ini (jika sudah ada) dikoran maupun televisi.

Namun demikian saya dahulu saya pernah membaca buku tentang seorang peneiliti lama bernama David McClelland. Menurutnya, usahawan memiliki motivasi berprestasi lebih tinggi dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Seorang wirausahawan adalah seorang ‘risk taker’, karena membuat keputusan dalam kondisi yang tidak pasti. Namun demikian mereka tetaplah moderat (karena semua keputusan ada hitungannya, salah sekalipun), tidak terlalu tinggi seperti seorang penjudi maupun terlalu rendah (pasif). Menurut Mc Clelland, kepuasan atas hasil berasal dari kesuksesan prakarsa yang mereka ambil, bukan dari pengakuan umum atas prestasi pribadi, sekalipun ukuran sukses mereka jelas, yaitu laba.

Bagaimana menghubungkannya ya? Hahaha…. Mungkin juga para pedagang atau pengusaha itu tidak memerlukan pengakuan umum atas prestasi mereka meraih laba, maka memberikan uang secara sukarela seperti itu dianggap bukan sesuatu yang luarbiasa, mengingat walaupun uang mereka lecek begitu, mereka menganggap diri sudah sukses karena sudah mendapatkan laba. Ah, sepertinya kok menyederhanakan kesimpulan dari fenomena menarik itu ya?

Yah, kesimpulan sahihnya memang memerlukan penelitian mendalam oleh para ahli yang berkompeten dibidangnya. Saya hanya berpendapat, seperti halnya orang awam diranah informal. Selebihnya, samasekali tidak hendak merendahkan pekerjaan manapun, karena mereka semua yang berangkat berduyun-duyun ketika fajar menyingsing dan pulang berlelah ketika surya tenggelam adalah pahlawan bagi keluarga mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline