Saya bukan warga Jakarta, namun pernah berKTP Jakarta. Jadi bisa dipastikan saya tidak akan memilih Cagub manapun dalam Pilkada DKI Februari 2017 nanti. Namun saya tertarik dengan Pilkada DKI karena beberapa alasan. Diantaranya :
1. Asal Bukan Ahok
Ahok menjadi sasaran tembak banyak parpol dan banyak kelompok. Entah karena alasan dalil agama, alasan masalah sopan santun, alasan kepentingan mengatas namakan rakyat, ataupun alasan anti mafia konglomerat reklamasi pantai utara Jakarta yang kemudian berujung pada alasan anti ras tertentu, yang jelas Ahok memang teramat sangat mudah dijadikan sasaran penolakan maupun hujatan kebencian.
2. DKI Jakarta sarat kepentingan ekonomi dan politik
Ditengah perubahan zaman yang begitu deras kemajuan teknologi dan gejolak geo-ekonomi-politik dunia yang saling tumpang tindih bertarung antara satu negara dengan negara lainnya, Indonesia masih saja terpusat pada titik konsentrasi Jakarta sebagai lahan perebutan pengaruh berbagai kepentingan. Jakarta tidak sekedar menjadi gula rebutan para semut tetapi sudah menjadi pertaruhan hidup mati para pemburu kursi.
3. Pilkada DKI Jakarta adalah topeng orang-orang absurd
Dalam pertarungan menuju Pilkada DKI Jakarta, tampak banyak orang-orang absurd memperjuangkan diri dan kelompoknya. Mereka seakan berbicara untuk "kita", padahal yang ada adalah untuk "kami" atau "saya". Mereka berteriak seakan menunjukkan identitas "aku" yang pantas untuk dipilih ataupun setidaknya untuk didengar dan dilihat, padahal yang tampak adalah "gua" yang bukan berarti sebuah lorong menembus tanah. Melainkan sebagai sosok yang tidak jelas apa maunya.
Oleh karena itu, saya teramat yakin bahwa yang menjadi pemenang sesungguhnya dalam Pilkada DKI Jakarta adalah Basuki Tjahaja Purnama, sang petahana. Mengapa ? Karena justru dengan 3 alasan diatas, sudah menunjukkan dengan jelas bahwa kalau bukan karena keberadaan Basuki alias Ahok, semua orang dan kelompok tidak akan begitu tunggang-langgang berupaya menjadi lawan. Dan seperti dalam film-film laga, seorang jagoan memang harus menghadapi lawan yang banyak dan licik. Kalaupun Ahok kalah, tetap menjadi pemenang yang sebenarnya. Karena seperti dalam film, jagoan tidak harus menang, jagoan bisa saja kalah atau mati, namun itu berarti dikenang sebagai pengorbanan dan kepahlawanan.
Lalu bagaimana dengan kemungkinan kemenangan Agus Harimurti ataupun Anies Baswedan ? Saya hanya berharap Agus Harimurti tidak terjebak oleh wajah-wajah absurd dari orang-orang yang suatu hari nanti kelak bisa saja berubah menjadi brutus. Kemarin dan hari ini begitu memelas meminta keikhlasan, tetapi suatu hari nanti bisa menjadi tim pencari fakta dan menandatangani angket meminta pertanggungjawaban. Di Indonesia hal seperti itu mudah terjadi, bukan ?
Sedangkan untuk Anies Baswedan, seandainya program Indonesia Mengajar menjadi andalan untuk dibawa ke tingkat dunia dengan kemasan global, tentu akan menjadi lebih baik. Anis Baswedan bisa setara dengan Muhamad Yunus dengan Grameen Banknya. Mungkin saja bisa menjadi pemimpin UNESCO, sesuai dengan kapasitasnya sebagai pemikir pendidikan.
Namun semua sudah terlanjur terjadi. Siapapun berhak berpendapat tentang Pilkada dimanapun, tidak hanya untuk Jakarta. Pilkada memungkinkan orang-orang dengan talenta besar tampil menjadi pemimpin. Alangkah bahagianya Indonesia bila semua pemimpin daerahnya bagus dan bersinar. Tidak hanya Tri Risma, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan sebagainya. Apalagi nanti semua hasil kerjanya selama menjabat pemimpin daerah tinggal dilanjutkan dengan mudah. Indonesia tinggal selangkah lagi menuju negara super power. Tapi....please, para talenta besar tersebut jangan diadu satu sama lain untuk kepentingan apapun. Cukup Pilkada DKI yang mengorbankan Agus Harimurti dan Anies Baswedan, yang lainnya jangan !